20 Juli 2009

Gambar Tubuh

Sauasana di kampus tempat aku menamatkan sarjana. Ku lihat beragam gaya dan lekukan tubuh, baik wanita maupun pria. Tetapi satu makhluk Tuhan ini, malah membuat mata ini tak pernah berhenti menatapnya, layaknya penglihatanku di hipnotis seperti pesulap yang menampilkan permainan dan triknya di kotak ajaib. Sementara sepekan kemarin, aku masih melihat gaya dan tubuhnya yang super ketat, di balut kaos oblong bertekstur ala distro. Sungguh memukau dan membuat jantung berdecak kagum. Bahkan tenggorokan yang biasanya di lalui kopi susu hitam di kantin, malah tak terasa lagi terkecup lidah. Ironis atau di sengaja, ini bukan tipuan. Melainkan hal yang tidak biasa kutemui di dalam kampus. Gambar tubuhnya sangat lain dari biasanya. Ia berjalan bak manohara yang di kejar mata para saudagar. Bahkan aksesoris yang di gunakan di leher dan pergelangan tangannya, dinilai ratusan ribu dollar. Sungguh memikat, seketika ku sapa ternyata dirinya sebuah khayalan yang bermain dalam mimpiku di kamar hotel tuan tanah, tempat aku menginap bersama istri dan anak anakku.

04 Januari 2009

20 Desember 1982

Mengusik tanggal kelahiran seseorang yang hanya dua pekan bersama, tidak sekadar butuh waktu untuk melupakannya. Sejak pertemuan itu, ada perseturuan yang terkadang tidak bisa kami pahami secara baik, entah detik malam pasti akan terjadi dan terlihat dengan raut yang saling murung. Berangkat dari cerita ini, di awali atas "cemburu buta" melihat situasinya rumit, tiba tiba datang seorang kurcaci berkepala botak dengan seolahnya menjadi terbaik di mata pujaan ku. Mungkin ini sebuah kamuflase atau sekadar mengerti rasa ini yang sulit melupakan hati dan pengkhianatan itu. Jika bayang perempuan itu ku sebut "ibu" datang dan menolehkan muka, tandanya kemenangan pada pecundang itu, bahkan kekecawaan ku harus bertahan hingga tidak akan berubah. Malam ini, ku berbincang dengan beberapa kawan, dan kebetulan kasusnya tidak jauh beda dengan apa yang ku alami. Ia masih "Sayang sama aku" itu di akui di sebuah restoran di jalan andi pangeran pettarani, dengan ujung pertemuan. Ia beranjak tanpa ucapan salam dan sentuhan yang sebelumnya menjadi obat tidurnya di malam hari.

"maaf, jika aku tertidur dan menunggu di bawah batu nisan"