13 Desember 2008

Cinta Yang Bungkam


Kisah ini berawal dari pertemuan seorang wanita yang hampir kujadikan sebagai calon istri. Pekan lalu saya baru mengenalnya lewat kawan lama yang baru saya jumpai. Ketika kutahu ia sosok wanita yang menurutku amat idial untuk menjadi seorang ibu, namun kenyataannya itu berbeda. Di sebuah kedai kopi, senyumnya selalu menghantui. Bahkan, diriku amat kaku dan tidak seperti biasanya. Sungguh munafik menurutku, menyembunyikan perasaan yang sekadar ia tahu. Mungkin saja, ia akan mengerti dengan apa yang terjadi. Hingga cinta yang bungkam, lahir dan datang atas sebuah nama...?

karampuang, 131208

21 November 2008

Teropong

Pagi hari, sekitar pukul 8. Saya berkunjung ke sebuah tempat yang sering dikunjungi oleh, para pria berdasi. mereka kerap menyelipkan uang pada sosok manusia (antara ada dan tiada)..
ia sering berkeliaran, dari satu tempat ke tempat yang lain, mencari peristiwa dan menawarkan pada sebuah janji mata, entah itu pahit atau sekadar menjadi boomerang untuk siapa saja,
sekiranya itu sudah berlalu di teropong ku....

24 September 2008

Liputan oeh oeh oeh.......

upsst...ada sms, langsung ke bhayangkara ada penikaman, dan korban masih disana. "sekira bunyi kalimatnya" Dengan begitu, langsunglah saya bergeser. menuju lokasi. Sementara, anak2 yang lain, sudah berada di tkp dan polsek. Saya pikir, ini persoalan waktu dan kelincahan saja, toh seandainya saya di makassar. pasti tidak telat. Langsung mi pada intinya, saya baru tahu dan memang agak tidak mau tahu, kalau tsk alias tersangka sudah berada di sel tahanan, tidak bisa di liput kah?
Tiba-tiba saya, di bentak oleh seorang kawan...oeh oeh liat liat ko bos.. janganko ambil tsk kalau sudah di dalam sel mi. Katanya..dan satunya lagi..ada bilang lapor2 ko dulu bos sama senior..
Aduh.....sebuah pengalaman yang tidak riil, menurut saya.
Nyaris kah? adu jotos...itu ma tahun bahela... saya pikir fine fine aja, selama tidak menegur dengan pukulan.
Tragedi Liputan Ramadan 2008

19 Agustus 2008

Matahari Mulai Menyengat Kulit Ku

Ada banyak cerita dan fenomena yang aku potret. Mereka terkadang kejam dengan dunianya, atau setidaknya berani memutar keadaan yang sementara. Waktu terus menghantar pada titik resah, namun kesabaranlah yang datang menjadi cermin dalam hari ku. Entah, ini cobaan atau sebuah kamuflase. Sementara aku masih menyengat dari matahari yang kemarin.

11 Agustus 2008

STIKOM FAJAR, I am sorry good bye

Gerbang STIKOM FAJAR, tak lama lagi.
Ada wujud baru bernama UNIVERSITAS FAJAR.
Aku pulang tidur..
Bertanya pada mama..
Tentang RAKYAT yang dulu..
Di kampus itu kawan.
"KESAKSIAN KITA"

01 Agustus 2008

Selamatkan Budaya Kita

Mungkin saja, saya mengawali sebuah kalimat :

Salam budaya,

Berangkat dari temu teman teater nusantara VI yang diadakan di kota pahlawan. Sejuta aksi dan peran dari berbagai komuitas datang silih berganti. Para komunitas yang ikut serta dalam acara ini, datang dari penjuru nusantara. Mereka pun merasa terhormat bila budaya apa yang mesti diselamatkan. Baik halnya dalam pementasan, hingga suasana apa yang pantas untuk diselamatkan bagi teman-teman dengan beragam suku dan budaya. Sementara, para teman yang datang dari Makassar, Gorontalo, Kalimantan, Papua, Bali dan kota-kota lainnya pun ikut menikmati kegelisahan tersebut.

Boleh di kata sebelum kegiatan dan proposal itu terdengar dari telinga teman-teman, mungkin saja sekian hari mereka telah mempersiapkan sebuah naskah untuk di pentaskan. Bahkan tidak hanya itu. Semacam biaya hidup, yang paling lazim ketika kita merantau ke negeri seberang. Sejuta makna pun dihadapkan dengan kenyataan, sembari berpikir satu visi dan tekad yang tak lepas dari semangat para seniman Indonesia.

Kegiatan yang berlangusng sejak tanggal 25 Juli hingga 2 Agustus 2008. Yang diperhitungkan Selama 9 hari oleh pihak panitia. Mengenai SDM dan etika yang nampak dari panitia, terbentuk kwalitas yang kurang sempurna, terbukti dari para komunitas yang mengeluh dan merasakan fasilitas dengan seadanya, atau setidaknya menyadarkan pada kontribusi yang mesti disesuaikan. Sekiranya kita sikapi dengan rasa yang lebih rasional saja.

Dalam tema yang diangkat dalam acara ini, tentang “ selamatkan budaya kita”. Seperti apa gaun tersebut. Kegiatan ini berupa karnaval budaya, workshop (penyutradaraan, keaktoran, musik dan make up) selain itu disediakan pula sebuah apresiasi pementasan dan dilanjutkan dengan forum diskusi yang ritmenya berdasar rundown acara. Seperti apakah penyikapan teman-teman dalam acara ini dan bagaimana nadi kesenian selama temu teman teater nusantara ini.

Selain tata karma dan etika. Ada kalanya permasalahan yang ditemui dalam kegiatan ini. Hingga solusi apa yang sepadan untuk kita temui. Mungkin saja, ada rintihan yang mesti disampaikan atau sekiranya mewakili rasa yang diam tentang apa gambaran kesenian kampus selama ini.

Secara garis umum, kesenian kampus selama ini masih buas dengan fenomena rongsokan. Mengapa saya menyatakan demikian. Karena adakalanya, salah satu kampus masih diabaikan dengan fasilitas hingga dukungan secara empati. Seolah-olah, hantaman untuk kesenian kampus akan dilumat dengan politik kultur.


Sejak kesadaran itu mulai terkemas, maka teman-teman harus paham tentang sejauh mana apresiasi kampus kita mengenai kesenian kampus. Sementara itu, tidak hanya dari segi fasilitas saja, bahkan adanya kontoversi antara pihak akademik dan para UKM yang berada pada posisi dibawah naungan pada diktator kampus.

Dalam hal ini, kesenian kampus makin terpuruk oleh sebuah argument yang sangat halus. Maksud kehalusan tersebut, adalah adanya oknum yang tidak bertanggung jawab, terhadap apa cara memaknai dan menyandarkan kesemutan seni dalam aura kampus. Bahkan, boleh dikata sejauh ini ada banyak pergulatan seni yang mendorong kawula muda untuk tetap eksis. Tidak hanya dengan teater saja. Tetapi soal mengenal dan memahami sarapan sastra. Tentang menulis dan meramu kata-kata yang pantas untuk diteriakan.

Sekali lagi, melayangkan kalimat “selamatkan budaya kita”.
Jika memang aroma budaya yang ingin diselamatkan selalu berhadapan dengan dunia kesenian kampus. Maka sederhananya, saya akan mencoba merenungkan dengan pijakan yang rata pada setiap temu teman se-nusantara ini. Dalam artian, mencoba membahas keragaman yang senantiasa jarang dipertontonkan pada saat temu teman se-nusantara.



HIDUP DIAMBANG SETAPAK

Seperti apa kehidupan orang yang berada diambang setapak? Kata ‘setapak’ sama halnya dengan sebutan lorong atau gang. Namun, dikompleks itu tidak beda dari biasanya. Pertemuan warga dengan cara berkumpul dan melakukan aktifitas sesuka hatinya. Suatu waktu saya melintas dan memperhatikan orang-orang disekeliling setapak. Ada yang dengan santai berkaca pada diri, sampai para pria yang ubanan memandang kandang ayam miliknya. Bahkan adapula yang sibuk dengan tradisi setapak “gosip”.
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.

Perumnas, 22 Juni 2008

SEINDAH APA PERAWAN ITU?


Ketika mereka. Dia, aku dan kamu. Datang dan dianugerahi satu kelahiran dan hidup atas nama dunia ini. Sementara bentuk kehidupan yang kita rasa harus rela, pasrah, takut bahkan sesantainya kita melihat kenyataan itu. Sebuah fenomena dalam mata realitas yang bertentangan nyata dan berada dalam kehidupan. Tentang perawan, dimana kita melihat dan mengusik sebuah pertanyaan untuk perawan.
Perawan. Yah, perawan itu sangat nyaman, bersih, murni. Tetapi keaslian itu, kita pertanyakan, apakah terhitung tersisa atau tak tersisa. Bila sisa keperawanan menyambar kebohongan, apakah kita masih merasa tanggung untuk menghitung harga perawan yang dinilai cinta, uang atau kekerasan. Sebut saja, pemerkosaan, menjual keperawanan mereka, secara ilegal atau dasar dari rasa sama suka. Dengan penaburan cinta lewat perawan, itukah arti kesetiaan.
Saya gelisah tentang keperawanan, dan jauh dari rasa siksa mereka saat ini. Tentang dan mengenai sebuah film berjudul KIDS by Larry Clark. Semacam personal seks dalam mengadu kisah asmara, dengan pendidikan seks yang membuat penderitaan, merasa berani dan dibawah tekanan kesadaran. Memang, atmosfir film ini cukup realitas dan menjadi cermin budaya plus-plus. Sebab plus tersebut, sama ketika hati yang diluluhkan dengan kata-kata dan pengaruh psikologi pada bawah sadarnya.
Secara sadar, tulisan ini tak mengajak kalian untuk menonton film berjudul KIDS. Tapi, merangsang keninaboboan kita terhadap kerasnya pergaulan seks, terutama anak remaja yang sekadar coba-coba atau terpengaruh dalam hal apa saja.
Peran dan tantangan atas perawan cukup menggairahkan mata, telinga dan jari-jari tangan ini. Kenyataan dan pengakuan, mulai beramai-ramai menyelimuti hidup kita dalam ketuaan. Sejak peristiwa terakhir, mereka ayam kampus, PSK, gadis lambaian, anak dibawah umur dan begitu banyak nama hingga detik ini.
Dari kesekian yang tertera, dipakai semalam dengan tarif tertentu. Adapula yang sekadar gratis untuk nama cinta. Bahkan, mereka yang merasa disebut “jablai”. Dengan memperhitungkan masa keperawanan, hingga tahun 2007 telah banyak penyakit yang harus disembuhkan. Semacam HIV/AIDS, gejala kematian yang tak lama bertahan untuk hidup.
Ketika pembuktian penyakit itu menular, seberapa cemas hidup mereka yang menderita. Merasa diri hina dan dijauhi oleh masyarakat. Namun, teknologi saat ini sudah menglobal. Banyak perenungan yang menghantar mereka untuk berobat atau mengkomsumsi obat-obatan sesuai prosedur kedokteraan.
Terlihat ironis, menderita. Dari sekian penyakit yang timbul akibat hubungan seks bebas, itu kerap dijumpai akibat penggunaan kondom yang dianggap sepele. Semacam alat kontrasepsi, yang menjadi bingkai di apotek saja.

27 Juni 2008

HIDUP DIAMBANG SETAPAK

Seperti apa kehidupan orang yang berada diambang setapak? Kata ‘setapak’ sama halnya dengan sebutan lorong atau gang. Namun, dikompleks itu tidak beda dari biasanya. Pertemuan warga dengan cara berkumpul dan melakukan aktifitas sesuka hatinya. Suatu waktu saya melintas dan memperhatikan orang-orang disekeliling setapak. Ada yang dengan santai berkaca pada diri, sampai para pria yang ubanan memandang kandang ayam miliknya. Bahkan adapula yang sibuk dengan tradisi setapak “gosip”.
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.

Perumnas, 22 Juni 2008

12 Mei 2008

Film Kartun Seperti Resep Dokter

Sepekan lalu, saya masih sibuk dengan rutinitas sebagai seorang pengganguran. Walau demikian, saya tak segan-segan mengikuti acara yang ditayangkan di televisi. Seperti halnya, tayangan hiburan khususnya "Animasi", menghantar anak-anak kedunia yang lebih paham tentang perkelahian dan jarang menyimak tentang pendidikan. Apakah dasar film itu, sengaja ditayangkan seperti resep dokter. Yang seharinya diulang dan ditampilkan pada kotak ajaib. Tidak pagi, siang pun bahkan malam sekalian. Mungkin inilah jajanan yang harus dihentikan dan memberikan anak-anak bimbingan yang lebih baik. Hanya fenomena ini, masih buram dimata mereka...?

09 Mei 2008

Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VI

sajak ini, kubaca dan terlantun di pesisir colliq pujie, desa pancana Kabupaten Barru, untuk mereka yang cinta dan damai pada lautnya.

Terumbu Karang
gemuruh ombak bertabir kecapi
menerjang selasela karang yang merapuh
aku terancam menyusurinya
di sita bahkan di siasati,
wahai lautan nan membentang
salam ku dibibir pantai
esok petang ia datang
membawa risau
memenjarakan mulut ini..dan
membaringkan tanganku dengan rupiah,
lihatlah-lihatlah
ia datang
membayar wajahwajah laut yang
tunduk oleh tuatuan karang


Kab. Barru, 2 Mei 2008

30 April 2008

Antara Rindu dan Cermin Senja

Di antara kemasan yang masih miring di kepalaku, banyak gelombang menaruh kegelisahan. Terkadang membuat pertanyaan padaku. Seuntai kelahiran kecil yang kudapat dari seorang ibunda, bukan hal biasa. Melainkan tak biasa. Dengan penuh kejelihan menancapkan keberanian dalam segala hal, tentang berpikir, berbuat apa saja, bertindak seadanya, berakhlak seutuhnya, memberi kepercayaan, bertanggung jawab, bergaul dikalangan para parasit dan benalu, hingga mengenal kota 'lidah' bagi orang-orang yang mencakapnya seperti neraka.
Ke-aku-an ini terasa mengelitik disetiap kuberdiri, antara sebuah tiang hidup dan pertukaran pengalaman dan retorika. Itupun tak bisa menjadi jaminan. Untuk melatih kehidupan ini, bukanlah hal sepele. Tapi bagaimana mengarah dan tak terhambat oleh kebingungan disetiap memandang mereka. Namanya kusandang bak pelangi.
Kegelisahan mencekam diatas kepedulian, mereka tak ada satu yang tahu..sangat jelas. Hanya kepekaan sebuah ucapan yang berdenyut. Menggelitik sembari berbisik. Dengan berlari sejauh mana kaki itu mencapai puncak kebenaran antara jeda dan titik.
Kehadiran sang hitam berkelana putih, sang buram siap membening, hingga setajam tikaman mulai tumpul.
Sederet kata itu, bukan kebohongan. Melainkan mereka hanya dayang-dayang yang datang silih berganti. Semacam sifat, tingkah laku menjadi tabiat. Dengan sepenggal kata, "Selalu ada cemas di medan juang, peluklah ia sebagai rindu agar kesulitan itu rasa cokelat".

Tentang Ban

Mungkinkah kita atau segelintir orang, pernah menyimak tentang bentuk ban. Semacam benda yang bergelinding, dengan rotasi berputar sesuai dengan arah yang dituju melalui satu tempat ia berhenti. Sementara apa yang sesuai dengan jalur yang ditempuh. Jika tentang ban diaplikasikan dengan teori, mungkin saja ia mempunyai reaksi yang sangat peka terhadap manusia. Dengan keuntungannya, ban pun bisa mengarah pada dunia mimpi yang biasa kita angankan.

Jika betul adanya, sampai kapan kita menggelindingkan ban tersebut. Atau paling tidak arah mana yang sebenar-benarnya dapat kita dahulukan. Sepekan lalu, saya menerima pesan singkat dari ponsel teman yang sedang berada di Jakarta. Ia kebetulan mendapat beasiswa untuk belajar di salah satu media cetak nasional. Entah, mengapa ia mengirimkan kalimat itu.

Mungkin ia mengingat satu cerita lama atau sebuah refkleksi saat bersamanya. Ini juga bukan satu alasan, untuk mengindahkan pesan singkat tersebut. Dengan kata lain, mencoba mengadu atau menyadarkan kehidupan yang sedang berubah oleh peradaban saat ini.

Setelah membaca pesan singkat itu. Ada banyak hal yang perlu digelindingkan dengan tujuan tepat. Seperti ketepatan terhadap disiplin waktu, misalnya. Itu pun, yang terpikir pintas setelah memahami kalimat tersebut.

Sebelum menelaah lebih jauh, mengenai teori ban. Adakalanya, kita pernah menjumpai hal-hal yang bersifat dengan manajemen kebetulan. Kalau bermula dari itu, dengan “manajemen kebetulan”. Secara umumnya, terjadi seperti janji dan sederhananya terbentuk secara tiba-tiba. Contoh lainnya, ketika menemui sebuah kebetulan. Artinya, ada satu peristiwa yang terjadi atau dialami, dan saat itu membuat kita merasa beruntung, bukan buntung.

Secara sentralisasi, beragam kemungkinan bisa kita jumpai. Mengapa demikian, sebab teori tentang ban sangat bervariasi untuk bersandar dari satu objek. Jika objeknya beradu seperti roda, apakah ban juga disebut roda.

Ini bisa jadi simulasi kata, mendarati makna. Tetapi sangat rumit untuk menyejajarkan antara ban dan roda. Saya pernah menanyakan kepada beberapa teman dan mendiskusikannya. Namun, adakalanya perdebatan menjadi keuntungan. Seperti konteks yang belum sama sekali kita dengarkan dapat kita simak.

Sebelum memahami artian yang lebih dramatis, lebih awal kita mengenal dengan tatanan filosofi ban. Seperti apa perwajahannya, dan sejauh mana menyita putaran yang perlu atau tidak. Saya justru beralasan tentang prioritas. Seberapa penting prioritas itu, hingga sejauh mana mengarahkan hal tersebut. Mungkin sama, ketika kita meluruskan keinginan. Jika tidak ada inisiatif dan kerja keras, apa yang akan terjadi.

Era global warming, yang kian merangkak menjelajahi bumi. Cukup membawa kita berjalan dari panasnya kehidupan, tanpa “penghijauan”. Oleh karena itu, sikap apa yang harus kita jamahkan pada diri sendiri. Jika jelas demikian, berharapkah kita menyandang sebuah substansi atau pekerjaan tanpa harus bekerja keras.

Jika kesederhanaan dalam menyoalisasikan kehidupan tumbuh perlahan, bagaimana ritme situasi yang kita terapkan dalam keseharian. Haruskah menjual paradigma kita dengan berkunjung dari satu tempat ke tempat lain.

Semacam sales market, kiranya. Atau mungkin anda memiliki pandangan yang berbeda pula. Jika kita berlarut-larut, tanpa bertindak. Maka hanya proses yang berjalan, bukan hasil yang kita harapkan.

Adakalanya pengalaman dan retorika, tidak menjamin untuk segala kesuksesan. Melainkan bagaimana kita beranggapan bahwa tentang ban, sangat perlu kita terapkan seperti tujuan utama, tujuan yang betul-betul diharapkan sesuai dengan keberadaan kita.





12 April 2008

Hawa Malam

hawa malam
yang berkiblat
dilembar rupiah

hawa malamnya
mulai riang diremang remang
meraung dibawah kelambu belang

hawa malam
bertelanjang dengan
riang dan berdesah picik
diranjang empuknya

hawa malam pun
berusik tanpa air mata

mereka digilir
sejak dentungan jam tujuh malam,
berganti pena menyundulnya
sewarna pun tak cukup dihitung

hawa malam
bersandar layaknya gerbong kereta
yang wangi tuk menghantar
sambil berdesah tuk
merayu

karena telanjangmu
cukup molek
buat tuantuan

Hayam Wuruk, 30 Oktober 2005

28 Maret 2008

SENANDUNG KAWAN

kawan, sayapsayap kalbu itu menghantarku
disebuah perut bumi pertiwi
wajahmu serasa lama tak jumpa
hingga sang uban bercerita
tentang butiran cintacinta malam ditanjung bayam
lalu kuterbangun aroma ketiak asin
hingga tawa murung berpose di senja pagi
ya senja pagi itu…
dan kita teringat pada puntung rokok
berganti sesekali terisap dibibir, kawan

kawan, bayang perempuan sisir pantai itu
memanjakan kita pada mata telanjang
sosoknya berani dikabut malam
sambil bersiul dibibir pantai
lalu menatap mata kita
seakan terpantul cahaya birunya laut

kawan, secangkir kopi bibi
tak cukup manis
tanpa pantulan aroma lipstik bibirnya
kataku..

kawan, terompet tahun baru
bergema kencang, sisi hitam putih petang
akan datang lagi
langkah hari ke bulan
akan berkhutbah dikepala kita
dari mata kaki
tertuju pada ubunubun
dan diselasela kita lunglai
ada percikan api yang sulit terpadamkan
ada kepalsuan yang terengah sendiri

kawan, mari kita ke taman
beli jajanan buat kenangan

esok petang, tak ada rintihan tua semata
dari pelarian senandung kawan
....cilandak 2007

15 Maret 2008

ROK (Renungan Otak Kiri)

Rok

Begitu banyak bekas
Menyentuhnya
Begitu diskon pula
Harganya
Begitu nafsu
Menggelitikmu
Apakah kamu mau membuka roknya?

Hayam Wuruk 01.15 WIB/Januari 2008

Kesaksian "Boraq Cambuq"

Kisah Si Uceng di Balik Rekor MURI

Citizen reporter Boraq Cambuq menuturkan kisah seorang kawannya, yang mengikuti seleksi karyawan Trans Corp Company, yang dicatat MURI sebagai rekor seleksi karyawan dengan peserta terbanyak. Seleksi bulan Januari itu didahului dengan acara penyerahan piagam dari pihak MURI, dan disaksikan 65.000 peserta yang ikut ujian di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. (p!)
 
Sudah banyak peristiwa aneh, langka, unik, terbanyak, tercepat, dan ter- lainnya yang tertoreh di Museum Rekor Indonesia (MURI), termasuk salah satunya beberapa bulan lalu di Jakarta, tepatnya pada hari Minggu tanggal 21 Januari 2007. Di hari itu, sekitar pukul 15.30WIB, MURI kembali mencatat peristiwa seleksi penerimaan pegawai terbanyak di Stadion Gelora Bung Karno. MURI menganugerahkan piagam rekor kepada Trans Corp Company yang telah berhasil mengumpulkan kurang lebih 110.000 orang sebagai Peserta Rekruitmen dan Seleksi Broadcaster Development Program Batch 7.

Jumlah itu terhitung untuk peserta yang akan mengikuti tes di Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Semarang pada minggu berikutnya. Fantastis memang, sekaligus menjadi cerminan betapa banyaknya sarjana di negeri ini yang menjadi pengangguran. Hari itu, di Jakarta 65.000 manusia sedang berhadapan dengan kenyataan; tertawa bahagia dan lulus seleksi atau sedih dan pulang dengan tangan hampa. Lantaran TRANS Corp Company hanya akan meloloskan 500 peserta tes menjadi karyawan atau karyawati. Jika demikian sudah bisa ditebak hanya 500 manusia yang akan tertawa bahagia dan selebihnya akan menangis. Mungkin ini sebuah kalkulasi yang tak lazim dan menyiratkan sebuah pertanyaan yang tak lazim pula: berapa tetes air mata tercatat di MURI?

Saya membagi penuturan kisah seorang peserta rekruitmen dan seleksi Broadcaster Development Program Batch 7, asal Makassar yang ikut berpartisipasi sehingga Trans Corp Company mendapatkan rekor MURI.

Malam itu Kota Makassar diguyur hujan. Waktu menunjukkan pukul 22.30 ketika seorang anak muda di dalam kamar kos mencoba mengatupkan mata di atas kasur yang tak lagi empuk. Si anak muda mengaku beberapa hari terakhir ia selalu gelisah menjelang tidur. Bayangan wajah sang ayah, ibu, dan adik-adiknya di kampung halaman terus berkelindan di benaknya.

Sejak meraih gelar sarjana tahun lalu di STIKOM Fajar Makassar ia belum mendapat pekerjaan hingga kini. Dan sejak itu pula rasa bersalah pada keluarga terus menghantuinya. Dulu, semasa kuliah si anak muda yang bernama Zaif Al Kadir atau akrab dipanggil Uceng, 26 tahun, ini mengaku pernah bekerja sebagai loper koran selama sepuluh bulan. Ia mengundurkan diri lantaran gajinya pernah dipotong akibat tak sengaja koran jualannya jatuh ke selokan pada saat hujan turun begitu derasnya.

Kemudian ia beralih profesi sebagai pramusaji di sebuah restoran cepat saji selama dua tahun. Setelah lulus sebagai sarjana komunikasi, kini Uceng berkeinginan bekerja sebagai jurnalis.

Anak muda itu bangkit dari kasur dan menyalakan televisi 14 inci yang tergelatak di pojok kamarnya. Tak berapa lama kemudian dari kotak ajaib itu muncul iklan membawa setitik harapan: “ikuti seleksi dan rekruitmen TRANS TV…” Begitu penggalan kalimat iklan yang tertera di layar kaca televisi dan di sudut kanan atas terlihat logo: TRANS TV. Seketika Uceng tersenyum girang membaca kalimat itu. Saat itu ia mengaku sangat senang ketika pertama kali melihat iklan itu di televisi.

Segera Uceng membuka laci lemari pakaian untuk mencari ijazah yang ia simpan diantara tumpukan lembaran sertifikat pelatihan dan workshop jurnalistik. Setelah itu ia mengemasi pakaiannya. Semangat untuk mengikuti tes perekrutan karyawan Trans Corp Company di Jakarta kini tak terbendung lagi. Esok pagi ia berencana pulang kampung di Kabupaten Soppeng yang berjarak kurang lebih 200 km dari Kota Makassar untuk menyampaikan niatnya itu pada kedua orangtuanya. “Sebagai anak yang baik, sudah sepatutnya saya meminta doa restu orangtua sekaligus meminta uang sebagai bekal ke Jakarta,” ujar Uceng mengenang persiapannya berangkat ke Jakarta.

Tanggal 14 Januari 2007. Sore itu langit Jakarta mendung ketika Uceng menuruni tangga pesawat yang menerbangkankan dirinya dari Makassar. Seorang teman asal Makassar yang sudah lama menetap di Jakarta telah menunggunya di lobi bandara. Si teman lantas membawa Uceng menuju kawasan Cilandak Barat tempat di mana ia mengontrak sebuah rumah.

Malam pertama di Jakarata Uceng mengajak temannya mencari warnet untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang tes yang akan ia ikuti. Uceng tak sabar lagi ingin mendapatkan nomor registrasi peserta melalui internet.

Menjelang hari pelaksanaan tes, Uceng melewati hari-harinya di Jakarta dengan suasana suka dan duka. “Lebih banyak duka-nya sih. Saya pikir nasib saya di Jakarta tak jauh beda di Makassar, tiap hari makan terigu,” kata Uceng membahasakan mie instan sebagai terigu. Ia mengaku betah tinggal di Jakarta meski harus menghadapi resiko makan tidak teratur. “Ah, biasa itu. Dulu kalau kiriman beras terlambat, saya gunakan momen itu untuk puasa sunnah. Makanya sekarang saya terserang penyakit maag,” kata Uceng lagi dengan suara datar.

Sepintas nasib Uceng terdengar membanggakan, menggelikan, juga mengharukan. Betapa tidak, meski ia menyadari peluangnya sangat kecil untuk bisa lulus tes, namun ia tetap bersemangat untuk ikut. “Hidup ini pilihan!” ucapnya menirukan kalimat dalam iklan salah satu produk pasta gigi. “Sekali layar terkembang pantang biduk ke tepian! Kecuali layarnya robek, saribattang,” sambungnya disertai gurau canda. Tentu Uceng tidak sendirian. Entah berapa banyak anak muda seusianya yang datang dari berbagai daerah ke Jakarta, dengan cita-cita yang sama: jadi karyawan TRANS TV atau TRANS 7.

Minggu tanggal 21 Januari 2007. Siang itu sinar matahari menyengat kulit saat kawasan Gelora Bung Karno terlihat sesak oleh puluhan ribu manusia. Tak berapa lama kemudian mereka duduk berderet di bangku stadion serupa penonton pertandingan bola yang sebentar lagi digelar. Jam menunjukkan pukul 14:45 tetapi tes belum juga dimulai. Tak sedikit peserta mulai merasa gerah dan kepanasan menunggu lembaran ujian yang tak kunjung dibagikan. Mereka harus bersabar menunggu lantaran acara seremonial yang diisi dengan penganugerahan rekor MURI kepada Trans Corp Company lebih didahulukan.

Uceng duduk di deretan bangku tengah stadion Gelora Bung Karno. Di dadanya menggelantung kartu peserta yang bertuliskan identitas diri dan nomor registrasi: JKT - 15740. “Bambang na. Mandi keringat ki’ menunggu. Panjangnya lagi pidatonya Pak Chaerul Tanjung. Bayangkan, banyak sekali peserta yang datang ke stadion dari jam delapan pagi, sementara tes baru dilaksanakan pada jam empat lewat. Untung banyak cewek cantik di dekatku,” kata Uceng bergurau.

Iseng-iseng ia bertanya pada beberapa orang peserta asal daerah lain yang duduk di dekatnya tentang berapa umur, tinggi, dan sarjana apa? Dan jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut mereka justru mengusik pikiran Uceng. Ia mulai mempertanyakan keseriusan Trans Corp Company mengadakan perekrutan calon karyawan karena ternyata tak sedikit peserta yang ikut tes tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan. Misalnya, ada peserta yang mengaku belum sarjana, tinggi di bawah 170 cm dan berumur 28 tahun. Sementara syarat untuk mengikuti tes, peserta harus memiliki ijasah minimal D3, tinggi minimal 170 cm dan umur maksimal 27 tahun.

“Seharusnya pihak Trans menerapkan aturan itu pada tahap seleksi administrasi agar calon peserta tes yang tidak memenuhi persyaratan tidak diikutkan. Sebab bagaimana pun nantinya, mereka yang dinyatakan lolos tes pertama akan “jatuh” juga pada tahap berikutnya, kasihan kan?” kata Uceng menuturkan keheranannya.

Mungkin Uceng benar, kalau saja peraturan di perketat pada tahap seleksi administrasi, tentu mereka yang tidak memenuhi persyaratan tidak perlu jauh-jauh datang dari penjuru negeri ini untuk mengadu nasib di Jakarta. Adakah aturan ini segaja diabaikan agar berhasil mengumpulkan orang banyak dan mendapat rekor MURI

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Januari 2007 sekitar pukul 22:30 Uceng mengakses internet untuk melihat pengumuman peserta yang lulus tes. Bertepatan dengan itu, ayah dan ibu Uceng yang berada di Soppeng menelpon anaknya di Jakarta untuk mengetahui kelulusan si anak. Tubuh Uceng lunglai di kursi saat ia tak menemukan namanya tertulis di antara nama-nama peserta yang dinyatakan lulus tes tahap awal.

Kala itu ia mengaku sulit berdamai dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Sesaat Uceng merasa frustrasi akan keadaan yang seolah membuat dirinya tak punya kuasa lagi terhadap tubuh dan nasibnya. “Loyoka waktu saya liat tidak ada namaku. Langsung saya ingat orangtuaku di kampung. Kayak mimpi rasanya,” kata Uceng dengan wajah nelangsa. Ia berusaha meredam tangisnya ketika mengabari orangtuanya lewat handphone bahwa dirinya tidak lulus. “Suaraku bergetar waktu saya bilang sama Amboku tidak lulus ka’, beliau tahu kalau saya menangis. Amboku bilang, Jangan menangis, Nak. Sabar saja. Jangan putus asa,” tutur Uceng menirukan pesan orangtuanya.

Adegan terakhir pada kisah itu setidaknya dapat menggugah empati kita. Akhirnya tersirat lagi sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya mekanisme penganugerahan sebuah peristiwa untuk mendapat rekor MURI? Jika menilik kembali peristiwa yang berhasil mendapatkan penghargaan rekor MURI selama ini, tentu dengan mudah kita dapat mengetahui bahwa peristiwa itu biasanya disebut dengan awalan “ter”. Misalnya; terbanyak, terpanjang, terbesar, tertinggi, terkuat, tercepat atau mungkin sebaliknya. Atau peristiwa lainnya yang dinilai unik, aneh, dan ajaib.

Jika demikian, tak keliru MURI menganugerahkan penghargaan pada Trans Corp Company karena prestasinya sebagai perusahaan pertama yang berhasil mengumpulkan peserta calon karyawan “terbanyak”. Teman saya, Uceng, menjadi bagian kecil dari catatan rekor ini. Tapi ia tampaknya tak begitu peduli pada rekor itu, pun pada "partisipasi" kecilnya. Sekarang, ia sibuk mencari kerja yang lain. (p!)

13 Februari 2008

Jangan Tikam Aku Setengah Rindu

Sejak aku mengenalnya, banyak gundah yang belum terjawab. Sama halnya, diwaktu pagi ia berangkat dan pulang tanpa pamit. Entah, aku berbisik pada siapa. Bukan kamu, bahkan bukan untuk yang kesekian kalinya. Jika sewaktu masa, ia menjenguk dan menanyakan kabar. Ucapkanlah kata, tentang tikaman setengah rindu.
Semua peradaban ini, datang silih berganti. Seketika ia datang dengan diam, lalu mencoba mencari kehadiran sang penghiburnya. Mungkin ada saja pertemuan itu, yang berbahasa dalam kesaksian. Ataukah aku hanya pemimpi, yang hanya bernafas dan kembali berlari.
Jika ya, biarkan ia lelah. Namun sekali berkata tidak, ia tak ingin melangkah pada kelelahannya. Jiwa saja bisa lelah, untuk datang dan mencari perhentian. Mulai dari ruang pijakan hatinya, hingga kisah yang telah ada dalam kehidupannya.
Jika keharusan hidup, perlu ada ketenaran dan penindasan. Jarak apa yang hendak ditempuh. Bahkan, seruan itu pun tak cukup terdengar.

SAVE KONDOM

Ketika mereka. Dia, aku dan kamu. Datang dan dianugerahi satu kelahiran dan hidup atas nama dunia ini. Sementara bentuk kehidupan yang kita rasa harus rela, pasrah, takut bahkan sesantainya kita melihat kenyataan itu. Sebuah fenomena dalam mata realitas yang bertentangan nyata dan berada dalam kehidupan. Tentang perawan, dimana kita melihat dan mengusik sebuah pertanyaan untuk perawan.
Perawan. Yah, perawan itu sangat nyaman, bersih, murni. Tetapi keaslian itu, kita pertanyakan, apakah terhitung tersisa atau tak tersisa. Bila sisa keperawanan menyambar kebohongan, apakah kita masih merasa tanggung untuk menghitung harga perawan yang dinilai cinta, uang atau kekerasan. Sebut saja, pemerkosaan, menjual keperawanan mereka, secara ilegal atau dasar dari rasa sama suka. Dengan penaburan cinta lewat perawan, itukah arti kesetiaan.
Saya gelisah tentang keperawanan, dan jauh dari rasa siksa mereka saat ini. Tentang dan mengenai sebuah film berjudul KIDS by Larry Clark. Semacam personal seks dalam mengadu kisah asmara, dengan pendidikan seks yang membuat penderitaan, merasa berani dan dibawah tekanan kesadaran. Memang, atmosfir film ini cukup realitas dan menjadi cermin budaya plus-plus. Sebab plus tersebut, sama ketika hati yang diluluhkan dengan kata-kata dan pengaruh psikologi pada bawah sadarnya.
Secara sadar, tulisan ini tak mengajak kalian untuk menonton film berjudul KIDS. Tapi, merangsang keninaboboan kita terhadap kerasnya pergaulan seks, terutama anak remaja yang sekadar coba-coba atau terpengaruh dalam hal apa saja.
Peran dan tantangan atas perawan cukup menggairahkan mata, kelamin dan jari-jari tangan ini. Kenyataan dan pengakuan, mulai beramai-ramai menyelimuti hidup kita dalam ketuaan. Sejak peristiwa terakhir, mereka ayam kampus, PSK, gadis lambaian, anak dibawah umur dan begitu banyak nama hingga detik ini.
Dari kesekian yang tertera, dipakai semalam dengan tarif tertentu. Adapula yang sekadar gratis untuk nama cinta. Bahkan, mereka yang merasa disebut “jablai”. Dengan memperhitungkan masa keperawanan, hingga tahun 2007 telah banyak penyakit yang harus disembuhkan. Semacam HIV/AIDS, gejala kematian yang tak lama bertahan untuk hidup.
Ketika pembuktian penyakit itu menular, seberapa cemas hidup mereka yang menderita. Merasa diri terhina dan dijauhi oleh masyarakat. Namun, teknologi saat ini sudah menglobal. Banyak perenungan yang menghantar mereka untuk berobat atau mengkomsumsi obat-obatan sesuai prosedur kedokteraan.
Terlihat ironis, menderita. Dari sekian penyakit yang timbul akibat hubungan seks bebas, itu kerap dijumpai akibat penggunaan kondom yang dianggap sepele. Semacam alat kontrasepsi, yang menjadi bingkai di apotek saja.

23 Januari 2008

Don’t MUNTABER

Mundur Tanpa Berita disingkat MUNTABER. Dari kata ini, kita bisa menyebutnya semacam penyakit, tetapi lain halnya ketika kata ini digunakan sebagai bentuk kecolongan terhadap informasi. Menelaah kata MUNTABER, seolah-olah menghantar kita pada dunia sarang penyakit yang terkadang segelintir menyebabkan kematian. Namun, sisi lainnya sangat peka dengan kinerja seseorang baik yang berprofesi maupun tidak sama sekali.

Seputar kehidupan masyarakat, ada pula kata GOSIP dan ISU. Berangkat dari kata tersebut, informasi mulai berangsut kesana kemari. Bahkan ada yang biasanya sekadar memberi tanpa penjelasan, masih ragu atau dengan menambah-nambah hal-hal yang bisa menimbulkan kecurangan, tidak efisien.
Melirik para pakar manajemen strategi memberikan tips sederhana untuk mengkaji informasi : check, re-check, cross check dan final-check. Sangat berbahaya jika seorang pemimpin tidak bisa melakukan tips-tips sederhana ini. (Kutipan Manajemen Kecerdasan, Taufik Pasiak).
Bagi saya, dan kebanyakan orang mempelajari dan mencari informasi. masih tergantung dari perintah atasan. Kurangnya insiatif, atau pematangan disiplin yang belum terealisasi. Mungkin saja, saya pun demikian.
Dengan muntaber inilah, saya berpikir dan bertanya pada diri. Jika memang demikian informasi yang kita dapatkan dan memiliki data-data yang akurat, tajam dan terpercaya. Seperti halnya meminjam slogan SCTV.
Ide atau singkatan kata ini, menjadi istilah dan kekuatan untuk tetap optimis. Mengapa ada orang yang sukses dan gagal? Ada banyak jawaban untuk ini, dan meninjaunya bisa dari beragam perspektif.
Andai saja informasi seperti Jelangkung “datang tak dijemput pulang tak diantar”, maka santailah kita sambil menunggu hari esok, esok dan esok lagi. Ini bukan aturan, paksaan atau himbauan, tetapi layaknya tentang bisik-membisik yang sering kudengungkan kepada keluarga dan kawan-kawan ku.
Mungkin karena sedemikian istimewanya, saya berupaya menjalani istilah ini dengan Don’t MUNTABER. Jika anda mendengar informasi, siapa orang pertama yang ingin tahu lebih dahulu. Sanak kelurarga, rekan kerja atau sahabat karib. Dari pilihan ini, tidak menjadi acuan, saya pun punya alasan sendiri.
Sementara informasi yang kian merangsang kita dari berbagai konsep, memaksa kita untuk menjaring sebanyak mungkin. Dengan begitu, mundur tanpa berita, berarti kecolongan. Nah, saya berupaya menyatukan keragaman kita dalam memberi informasi. tanpa memberi keterangan data yang super nota bene. Mengapa demikian, ini bukan barang baru yang harus kita jual kepada siapa saja, tetapi menciptakan keselarasan terhadap rukun seprofesi. Mungkin saja, saya tidak tahu seperti apa karakter mereka, tapi paling tidak belajar mengenal dan menghormati sesamanya.
Sangat jelas, kita butuh nama dan memegang super champions. Bahkan persaingan tetap jalan sesuai dengan aturan yang kita miliki masing-masing. Bukan berarti, mengajak untuk saling merugi, tetapi bagaimana menguji ketenangan hati dalam berpikir tanpa mengedepankan arogan dan sejenisnya.
Boleh saja, singkat saya. Karena ada penelitian mengatakan, otak manusia tidak bisa dipaksa untuk berpikir sesuai dengan pikiran yang kita inginkan. Bukan soal untuk berbicara plin plan. Ini fenomena bung, yang terlihat dimana saja. Jika informasi itu sangat berharga, maka marilah kita mainkan sesuai irama kita. Ok bung.

Revolusi Aborsi

Kasus Aborsi yang tercatat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia kini mencapai dua juta kasus. Dari jumlah kasus di negara-negara ASEAN pada umumnya mencapai 4,2 juta kasus pertahun. Dari keterangan ini, terinput dari Data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization).Tahun 2006 lalu, telah terungkap perbincangan mengenai kasus aborsi. Dengan tema “Virginitas dan Fenomena Aborsi” yang digelar di Makassar. Di acara tersebut, dihadiri seorang ahli kedokteran bernama dr Fatmawati Madya SPOG. Menurut penuturan beliau yang bekerja di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, mengakui Rumah Sakit di Makassar pun, hampir setiap hari didapati pasien yang terlibat dalam kasus aborsi. Bahkan ada pasien yang datang setelah ditangani dukun atau dilakukan sendiri.“Mereka datang dalam kondisi sudah terjadi infeksi atau pendarahan yang hebat, ujarnya sembari menambahkan, hampir setiap hari ada saja pasien yang datang ke rumah sakit meminta janinnya digugurkan, dengan alasan yang tidak jelas atau bukan alasan medis, tegasnya”.Bahkan berdasarkan data Departemen Kesehatan di Indonesia sejak tahun 1999, kasus aborsi kian bertambah. Dengan total kasus berjumlah 750 bagi remaja putri yang belum menikah. Ditambah 1.250 kasus yang dilakukan oleh ibu rumah tangga atau perempuan telah menikah.Dengan volume kasus yang tercatat pertahun. Membutuhkan peran aktif kita dalam memberantas kasus tersebut. Dalam hal ini, yang terjadi bagi para anak remaja putri, bahkan mereka yang masih berstatus mahasiswi, pegawai swasta atau pekerja sex komersial.Jika kita sepintas melihat ke belakang, banyaknya perlakuan hubungan sex yang berbau ekstrim. Seperti hubungan sodomi, blow job, threesome, dan lain-lain. Bayangkan saja, bagaimana free sex yang terjadi di pasaran kota-kota Asia seperti Jakarta yang sebagian besar perempuannya bergonta-ganti pasangan? Atau bagaimana dahsyatnya bila terjadi penularan penyakit kelamin?Menurut Ichwan, “Sekarang, sex bukan lagi sekedar kata sifat. Melainkan juga sudut pandang. Lebih ekstrim lagi, aborsi adalah bisnis. Dalam dunia pergaulan, segelintir anak remaja terbiasa melakukan hubungan diluar nikah, lantaran sama suka dan rasa coba-coba. Tentunya, keinginan mereka semakin penasaran untuk mencoba berbuat zina. Seraya tempat mesumnya kebanyakan terjadi di wisma atau hotel berbintang dua. Seakan mereka tak pernah khawatir akan hal-hal yang menjadi ketergantungan sex.Sebuah fenomena nyata yang hadir dikehidupan kita. Selama ini rasa penyesalan akhirnya datang, dari kisah pengalaman Ratu yang pernah melakukan aborsi. Mulanya mereka bertemu bak sepasang jalinan cinta. Mereka menjalani hubungan terbilang tahunan. Lambat laun, karena sering melakukan hubungan sex bebas. Akhirnya hubungan mereka retak dan harus menanggung ulahnya sendiri.Mereka tak menyadari apa yang menimpanya. Sampai- sampai keegosian Rais berujung untuk menggugurkan kandungan Ratu. Disaat pertengkaran terjadi, disela itu ia meminta pertanggung jawaban. Tak dinyana, yang terlontar kata digugurkan saja. Lantas, bagaimana kekuasaan Tuhan yang menciptakan makhluk-Nya untuk berhak lahir di bumi. Seakan anugerah yang diberikan itu terbuang percuma.Akhirnya, Ratu yang tak ingin kehilangan pekerjaan. Ia pun mencari bantuan dari mantan pacarnya (Risal) yang juga berprofesi sebagai perantara di beberapa tempat aborsi.Mulanya Ratu takut untuk melakukan aborsi. Walau situasi dan kondisi yang dialami, membuat ia nekat untuk melakukan kejahatan itu. Dengan keterpaksaan, ia rela mengorek uang tabungan miliknya. Setelah ia menemui Risal, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit hitam legam. Singkat kata, Ratu menanyakan tempat untuk aborsi.Risal, tidak hanya melayani pasien untuk aborsi. Tetapi, sering kali ia menyelamatkan teman wanitanya dengan cukup mengkomsumsi pil/ramuan yang terdapat di apotek. Kepanikan Ratu makin terasa, gegas pun memberitahukan usia kandungannya. Dengan wajah pucat, ia membisik dengan nada datar 2 bulan, ujar Ratu.Setelah menyimak ucapan Ratu. Risal pun berangkat dengan membawa uang sebanyak 500 ribu rupiah, buat biaya aborsi. Dipenghujung waktu, menunggu kabar dan kepastian. Setengah jam berlalu, handphone milik Ratu bernada pesan singkat. Bertuliskan, “saya sudah tanya dukun itu, katanya ia tidak bisa dengan harga 500 ribu dan itu hanya kandungan 1 bulan saja, ujar Risal.Kegelisahan Ratu kian panik setelah membaca pesan tersebut. Ditambah, kekebalan tubuh mulai rapuh yang tak biasanya. Bahkan rasa mual, pusing masih terasa berat baginya. Di masa haidnya yang tidak teratur, membuat diri Ratu terlalu sensititf. Namun, raut Rais yang terlihat membingungkan dan tak tahu harus berbuat apa lagi.Keesokan harinya, Risal datang ke rumah Ratu. Membawa resep untuk menebus obat tersebut. Singkat, “saya hanya bisa memberikan ini, mudah-mudahan bisa berhasil karena usia kandungan kamu belum masuk pada bulan ketiga, ujar Risal”Banyak cara yang kadang bisa dijadikan untuk menggagalkan janin. Tetapi, tempat aborsi pun masih diminati sebagian orang yang mampu membayar dengan harga jutaan rupiah. Meski dengan mengkomsumsi pil atau pengorekan rahim, tentu semua memiliki efek dan nyawa pun bisa jadi taruhannya.Praktek aborsi, tidak sekadar berada di pelosok desa. Kota, dimana kita lahir kerap terdapat beberapa tempat selubung yang dianggap dan hanya diketahui bagi segelintir masyarakat setempat. Soal lokasinya pun beragam, seraya kita harus menguntik dan mengamati. Walau kadang anda harus tahu siapa dan seberapa lama pekerjaan itu ia lakoni, guna mencari rasa aman terhadap diri kita.Tempat pengguguran itu biasa ditempuh dengan berjalan kaki. Melalui sebuah jalan dan masuk ke lorong kecil yang bebatuan. Setelah kita tiba di lorong kecil, pasien dan perantara yang hanya bisa berjalan masuk menuju rumah aborsi itu. Dengan demikian, mereka bekerja secara teliti dan tidak sembarang membawa orang masuk kesitu. Bahkan setelah selesai, mereka kembali secara sembunyi-sembunyi.Ratu yang bekerja di bank swasta. Dan Rais yang masih duduk dibangku kuliah di perguruan tinggi negeri Makassar. Mereka mengalami kasus ini dengan rasa penyesalan dan berharap tidak mengulangi prilaku ini, tandas Rais. Bahkan ia berjanji setelah ini, untuk menikahi Ratu. Lantas, apa yang menjadi alasan hingga mereka pelit melihat hidup.Jika kalimat di atas masih terasa berat untuk dibaca di waktu santai, baiklah kita ngobrol tentang keputusasaan saja. Sosok penyesalan dan rasa bersalah cenderung datang di babak akhir. Semua orang sepakat kalau keganasan macan tak akan pernah melukai anaknya sendiri. Tapi kenapa dengan pasangan ini, yang tega mengakhiri anaknya dalam keadaan tersiksa. Mungkin saja ada ketakutan akan hubungan yang belum resmi atau menghindari rasa malu dari pihak keluarga masing-masing.Pergulatan kasus aborsi mulai dianggap sebagai ancaman pertahun. Jika benar atau salah, apakah mereka tak khawatir dampak dari aborsi? Adakah rasa tidak nyaman bila tak melakukan hubungan sex bebas? Atau, saat ini justru diperlukan hubungan itu? Bisa saja ada kemungkinan satu atau dua bulan orang akan melakukan aborsi?Berangkat dari pertanyaan di atas. Memang kasus aborsi kerap kali dianggap nilai mati. Dimana kebebasan mereka kerap terjadi dan didukung oleh beberapa faktor sebelum melakukan hubungan sex diluar nikah. Misalnya, kondisi ekonomi, broken home, hiburan malam, mabuk-mabukan sampai menonton film blue dan lain-lain.Di Makassar, tersebar puluhan pergaulan bebas. Baik untuk menengah ke atas, maupun untuk kalangan yang biasa saja. Setidaknya sejak akhir 1999, kasus aborsi ini mulai diberantas. Tapi toh, malah menjadi budaya yang buruk dan sulit menebak mana yang pernah melakukan aborsi atau sebaliknya. Fakta ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya perempuan yang khawatir untuk melakukan pergaulan bebas. Dengan sendirinya, banyak pula anak-anak generasi baru yang takut dan harus memilah pergaulan saat ini.Perkembangan dunia pergaulan yang mayoritas anak-anak remaja. Seraya cenderung hidup dengan prilaku baru dan beringsut ke dunia trendsetter. Pesatnya kehidupan yang indentik dengan prostitusi, membuat akar mental anak remaja tertimpa oleh pembunuhan karakter yang kerap mempengaruhi psikologisnya.Dengan kata lain, aborsi hanyalah penyakit psikologis. Dimana ahli kedokteran menuturkan, bahwa seorang perempuan yang melakukan aborsi, mengakibatkan pengaruh gangguan jiwa yang sensitif dan tertutup dalam hal pengembangan janin, ujar Fatmawati. Dari proses ketegangan itulah cenderung ditemui kemandulan, bahkan timbulnya penyakit kanker rahim, kanker prostak atau rusaknya kelenjer vagina.Kisah Ratu hanya sekelumit bagian dari para pelaku aborsi. Tentu Ratu bukan satu-satunya yang biasa melakukan hal ini. Bahkan, bisa saja anak-anak kita bagian dari mereka yang tak disadari.

Pengadilan Bahasa

Maraknya pemberitaan mengenai kekerasan di lembaga pendidikan yang bahkan merenggut korban nyawa, membuat citizen reporter Zaif Al Kadir menuliskan cacatan refleksi saat menjalani pendidikan di salah satu pesantren terkenal di Makassar, beberapa tahun silam. Menempa disiplin santri dengan tindakan tegas sudah menjadi tradisi turun temurun. Namun yang menjadi soal, apakah kekerasan demi kekerasan, efektif menegakkan disiplin? (p!)
Banyak orangtua yang memercayakan pendidikan anaknya di pesantren, dengan harapan agar kelak sang anak bisa tumbuh cerdas, berakhlak mulia serta memiliki ilmu agama yang memadai. Sederhananya, lulusan pesantren diharapkan memiliki iman dan takwa yang baik selain penguasaan pengetahuan umum yang memuaskan. Di pesantren tempat saya menimba ilmu, pemahaman bahasa Arab dan peningkatan akhlak menjadi hal yang sangat ditekankan. Namun selain kemampuan belajar, para calon santri harus mempersiapkan fisik dan mental dengan baik agar bisa secara perlahan menyesuaikan diri dengan kehidupan di pesantren.
Di pesantren tempat saya belajar, para santri tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari para pembina dan pengajar di ruang kelas. Mereka juga dididik dengan suatu pola bimbingan belajar yang dapat dilakukan di mana saja, bahkan di ruang makan. Pola ini terbukti sangat efektif dalam membantu santri menyerap pelajaran-pelajarannya. Namun yang patut menjadi perhatian, sistem senior-yunior dalam pergaulan sehari-hari terasa sangat kental. Bahkan, tidak jarang santri senior terasa lebih mengerikan penampakannya dibandingkan guru.
Salah satu hal yang membuat santri baru gemetar ketakutan dan memang harus siap mental adalah tingkah pola para senior, selain para pembina dan guru. Di pesantren saya belajar, pengadilan bahasa atau dalam bahasa Arabnya disebut Mahkamah Lugga adalah salah satu ajang unjuk gigi para santri senior terhadap santri yunior. Saat menjadi santri baru, saya pun merasakan kebimbangan yang luar biasa mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang Mahkamah Lugga ini. Kebimbangan yang kemudian melahirkan rasa takut yang luar biasa. Para santri senior akan bertindak seperti polisi dan hakim bahasa, mereka menahan dan mengadili santri yang kedapatan tidak berbahasa Arab di dalam lingkungan pesantren.
Sebenarnya, cerita yang tersebar mengenai pesantren ini sangat mahsyur di Sulawesi Selatan. Pendirinya dikenang sebagai pendidik yang bijaksana dan penuh rasa kekeluargaan, dan saya kira inilah yang membuat banyak orangtua mengirim anak-anaknya belajar di pesantren ini. Sayangnya, di balik semua cerita hebat itu, saya dan santri-santri baru harus melalui masa-masa penuh ketakutan bila berhadapan dengan para senior yang duduk di pengadilan bahasa.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang kawan saya yang bernama Habibi yang menjadi korban pengadilan bahasa itu. Sebenarnya, menurut Habibi, sanksi yang dijalani para santri bukanlah hanya soal pelanggaran bahasa, tapi juga dalam hal berpakaian dan lain-lain. Bila ada santri yang kedapatan oleh pengawas tidak berbaju gamis, maka ia sudah pasti kena sanksi. Lantas, sanksinya berupa apa? Nah, ini bisa macam-macam jawabannya.
Atas nama meningkatkan kedisiplinan maka ganjaran yang paling ringan semisal kena pukulan handuk yang dililit mirip belut sawah yang dilayangkan para senior, hingga gamparan dengan kayu bekas patahan kursi, adalah hal biasa. Habibi menjelaskan, para santri senior akan menjatuhkan hukuman bila tak senang melihat para santri tingkat bawah berbondong-bondong tidak beraturan mandi di sumur dan menghabiskan waktu yang lama pula. Pokoknya, para senior ingin agar kawasan sumur dan sekitarnya sudah kosong dan rapi, saat tiba waktunya bagi mereka untuk mandi.
Di suatu hari, di salah satu asrama pesantren itu tiba-tiba terdengar percakapan bahasa Indonesia yang panjang. Tak lama setelah perbincangan itu terdengar, seorang pembina datang ke arah kerumunan santri yang berdialog tersebut. Ketakutan yang sering hadir lewat cerita dari mulut ke mulut, kini hadir dengan nyata di depan mata.
“Anta, limaza bilugatull Indonesia”, ujar sang Pembina. (Kamu, kenapa berbahasa Indonesia?) “Afwan ustadz, ana la urrid kazallik, summa sallikaa awallan,” jawab Habibi.(Maaf pembina, bukannya saya yang mulai, tapi dia) “La, anta bilugatull Indonesia”, tegas sang pembina. (Tidak, kamu yang berbahasa Indonesia) “Summa sholat isya bada, tammal anta li mahkamah lugga.” (Setelah shalat isya, kamu masuk pengadilan bahasa). “Naam ustadz, suqran kasiiran,” kata Habibi dengan suara gemetar. (Baik pembina, terima kasih banyak)
Percapakan dalam bahasa Indonesia beberapa menit saja itu telah membawa petaka. Mereka yang berada di kamar tersebut, bergegas keluar dan menuju ke mesjid untuk salat isya. Pukul 7.30 malam ketika para santri selesai menunaikan shalat isya, saat itulah diumumkan para santri yang melanggar dan kedapatan berbahasa Indonesia.
Suasana dalam masjid terlihat begitu ramai. Seorang santri tingkat 5 kemudian berjalan menuju mimbar. Ia berceramah kurang lebih tujuh menit, dan setelah itu ia mengumumkan nama-nama santri yang melanggar pada hari itu. Di saat pembacaan nama-nama santri, suasana Mesjid tiba-tiba diam seribu bahasa.
Nama kawan saya, Habibi juga disebut. Sekitar setengah jam pengumuman berlangsung, mereka diberi waktu satu jam untuk kembali ke asrama dan menuju ke ruang pengadilan bahasa. Bagi mereka yang melanggar, jika terlambat datang ke ruang pengadilan tersebut, bisa mendapatkan sanksi dua kali lipat.
Habibi, yang terlihat murung, harus rela berjalan menuju tempat tersebut. Para pembina asrama mulai terlihat di depan pintu pengadilan, diantara mereka adalah santri tingkat 5 dan 6. Mereka layaknya para penguasa sewenang-wenang yang berhati dingin dan tanpa rasa peduli sama sekali.
Malam itu, pengadilan bahasa pun dimulai. Dari luar, para santri yang mengamati dari jauhmendengarkan suara jeritan kesakitan yang berasal dari ruang tersebut. Tak berapa lama, Habibi keluar dengan memar yang tampak jelas di paha kiri dan kanannya. Korban lainnya mendapatkan tamparan yang menorehkan bekas merah, atau hantaman di bagian tubuh yang lain.
Setelah mendapatkan ganjaran lebam-lebam itu, apakah Habibi akan jera berbahasa Indonesia di dalam lingkungan pesantren atau apakah ia kemudian terpacu meningkatkan kemahiran bahasa Arabnya? Ini yang tidak pernah dievaluasi. Mahkmaha Lugga itu ibaratnya sebagai tempat pelampiasan kemarahan saja, bukannya untuk menempa para santri yang melanggar. Sungguh, menyaksikan Habibi yang malang, saya berpikir dengan cemas, betapa tipisnya perbedaan “mengajar” dan “menghajar” dalam kondisi yang seperti ini. Sudah pasti, jeritan kesakitan yang hadir di Mahkamah Lugga adalah kenangan yang ada di benak setiap santri yang sempat mengecap pendidikan di pesantren ini. Sebuah tradisi yang berlangsung turun temurun, tanpa ada satu pun yang pernah berani bertanya dengan lantang, apakah memang demikian etika pengajaran yang seharusnya? Ataukah harus menunggu korban jiwa seperti tragedi di IPDN, barulah kemudian kita semua berteriak menyalahkan banyak hal?