13 Desember 2008
Cinta Yang Bungkam
21 November 2008
Teropong
24 September 2008
Liputan oeh oeh oeh.......
19 Agustus 2008
Matahari Mulai Menyengat Kulit Ku
Ada banyak cerita dan fenomena yang aku potret. Mereka terkadang kejam dengan dunianya, atau setidaknya berani memutar keadaan yang sementara. Waktu terus menghantar pada titik resah, namun kesabaranlah yang datang menjadi cermin dalam hari ku. Entah, ini cobaan atau sebuah kamuflase. Sementara aku masih menyengat dari matahari yang kemarin.
11 Agustus 2008
STIKOM FAJAR, I am sorry good bye
Gerbang STIKOM FAJAR, tak lama lagi.
Ada wujud baru bernama UNIVERSITAS FAJAR.
Aku pulang tidur..
Bertanya pada mama..
Tentang RAKYAT yang dulu..
Di kampus itu kawan.
"KESAKSIAN KITA"
01 Agustus 2008
Selamatkan Budaya Kita
Salam budaya,
Berangkat dari temu teman teater nusantara VI yang diadakan di kota pahlawan. Sejuta aksi dan peran dari berbagai komuitas datang silih berganti. Para komunitas yang ikut serta dalam acara ini, datang dari penjuru nusantara. Mereka pun merasa terhormat bila budaya apa yang mesti diselamatkan. Baik halnya dalam pementasan, hingga suasana apa yang pantas untuk diselamatkan bagi teman-teman dengan beragam suku dan budaya. Sementara, para teman yang datang dari Makassar, Gorontalo, Kalimantan, Papua, Bali dan kota-kota lainnya pun ikut menikmati kegelisahan tersebut.
Boleh di kata sebelum kegiatan dan proposal itu terdengar dari telinga teman-teman, mungkin saja sekian hari mereka telah mempersiapkan sebuah naskah untuk di pentaskan. Bahkan tidak hanya itu. Semacam biaya hidup, yang paling lazim ketika kita merantau ke negeri seberang. Sejuta makna pun dihadapkan dengan kenyataan, sembari berpikir satu visi dan tekad yang tak lepas dari semangat para seniman Indonesia.
Kegiatan yang berlangusng sejak tanggal 25 Juli hingga 2 Agustus 2008. Yang diperhitungkan Selama 9 hari oleh pihak panitia. Mengenai SDM dan etika yang nampak dari panitia, terbentuk kwalitas yang kurang sempurna, terbukti dari para komunitas yang mengeluh dan merasakan fasilitas dengan seadanya, atau setidaknya menyadarkan pada kontribusi yang mesti disesuaikan. Sekiranya kita sikapi dengan rasa yang lebih rasional saja.
Dalam tema yang diangkat dalam acara ini, tentang “ selamatkan budaya kita”. Seperti apa gaun tersebut. Kegiatan ini berupa karnaval budaya, workshop (penyutradaraan, keaktoran, musik dan make up) selain itu disediakan pula sebuah apresiasi pementasan dan dilanjutkan dengan forum diskusi yang ritmenya berdasar rundown acara. Seperti apakah penyikapan teman-teman dalam acara ini dan bagaimana nadi kesenian selama temu teman teater nusantara ini.
Selain tata karma dan etika. Ada kalanya permasalahan yang ditemui dalam kegiatan ini. Hingga solusi apa yang sepadan untuk kita temui. Mungkin saja, ada rintihan yang mesti disampaikan atau sekiranya mewakili rasa yang diam tentang apa gambaran kesenian kampus selama ini.
Secara garis umum, kesenian kampus selama ini masih buas dengan fenomena rongsokan. Mengapa saya menyatakan demikian. Karena adakalanya, salah satu kampus masih diabaikan dengan fasilitas hingga dukungan secara empati. Seolah-olah, hantaman untuk kesenian kampus akan dilumat dengan politik kultur.
Sejak kesadaran itu mulai terkemas, maka teman-teman harus paham tentang sejauh mana apresiasi kampus kita mengenai kesenian kampus. Sementara itu, tidak hanya dari segi fasilitas saja, bahkan adanya kontoversi antara pihak akademik dan para UKM yang berada pada posisi dibawah naungan pada diktator kampus.
Dalam hal ini, kesenian kampus makin terpuruk oleh sebuah argument yang sangat halus. Maksud kehalusan tersebut, adalah adanya oknum yang tidak bertanggung jawab, terhadap apa cara memaknai dan menyandarkan kesemutan seni dalam aura kampus. Bahkan, boleh dikata sejauh ini ada banyak pergulatan seni yang mendorong kawula muda untuk tetap eksis. Tidak hanya dengan teater saja. Tetapi soal mengenal dan memahami sarapan sastra. Tentang menulis dan meramu kata-kata yang pantas untuk diteriakan.
Sekali lagi, melayangkan kalimat “selamatkan budaya kita”.
Jika memang aroma budaya yang ingin diselamatkan selalu berhadapan dengan dunia kesenian kampus. Maka sederhananya, saya akan mencoba merenungkan dengan pijakan yang rata pada setiap temu teman se-nusantara ini. Dalam artian, mencoba membahas keragaman yang senantiasa jarang dipertontonkan pada saat temu teman se-nusantara.
HIDUP DIAMBANG SETAPAK
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.
Perumnas, 22 Juni 2008
SEINDAH APA PERAWAN ITU?
Ketika mereka. Dia, aku dan kamu. Datang dan dianugerahi satu kelahiran dan hidup atas nama dunia ini. Sementara bentuk kehidupan yang kita rasa harus rela, pasrah, takut bahkan sesantainya kita melihat kenyataan itu. Sebuah fenomena dalam mata realitas yang bertentangan nyata dan berada dalam kehidupan. Tentang perawan, dimana kita melihat dan mengusik sebuah pertanyaan untuk perawan.
Perawan. Yah, perawan itu sangat nyaman, bersih, murni. Tetapi keaslian itu, kita pertanyakan, apakah terhitung tersisa atau tak tersisa. Bila sisa keperawanan menyambar kebohongan, apakah kita masih merasa tanggung untuk menghitung harga perawan yang dinilai cinta, uang atau kekerasan. Sebut saja, pemerkosaan, menjual keperawanan mereka, secara ilegal atau dasar dari rasa sama suka. Dengan penaburan cinta lewat perawan, itukah arti kesetiaan.
Saya gelisah tentang keperawanan, dan jauh dari rasa siksa mereka saat ini. Tentang dan mengenai sebuah film berjudul KIDS by Larry Clark. Semacam personal seks dalam mengadu kisah asmara, dengan pendidikan seks yang membuat penderitaan, merasa berani dan dibawah tekanan kesadaran. Memang, atmosfir film ini cukup realitas dan menjadi cermin budaya plus-plus. Sebab plus tersebut, sama ketika hati yang diluluhkan dengan kata-kata dan pengaruh psikologi pada bawah sadarnya.
Secara sadar, tulisan ini tak mengajak kalian untuk menonton film berjudul KIDS. Tapi, merangsang keninaboboan kita terhadap kerasnya pergaulan seks, terutama anak remaja yang sekadar coba-coba atau terpengaruh dalam hal apa saja.
Peran dan tantangan atas perawan cukup menggairahkan mata, telinga dan jari-jari tangan ini. Kenyataan dan pengakuan, mulai beramai-ramai menyelimuti hidup kita dalam ketuaan. Sejak peristiwa terakhir, mereka ayam kampus, PSK, gadis lambaian, anak dibawah umur dan begitu banyak nama hingga detik ini.
Dari kesekian yang tertera, dipakai semalam dengan tarif tertentu. Adapula yang sekadar gratis untuk nama cinta. Bahkan, mereka yang merasa disebut “jablai”. Dengan memperhitungkan masa keperawanan, hingga tahun 2007 telah banyak penyakit yang harus disembuhkan. Semacam HIV/AIDS, gejala kematian yang tak lama bertahan untuk hidup.
Ketika pembuktian penyakit itu menular, seberapa cemas hidup mereka yang menderita. Merasa diri hina dan dijauhi oleh masyarakat. Namun, teknologi saat ini sudah menglobal. Banyak perenungan yang menghantar mereka untuk berobat atau mengkomsumsi obat-obatan sesuai prosedur kedokteraan.
Terlihat ironis, menderita. Dari sekian penyakit yang timbul akibat hubungan seks bebas, itu kerap dijumpai akibat penggunaan kondom yang dianggap sepele. Semacam alat kontrasepsi, yang menjadi bingkai di apotek saja.
27 Juni 2008
HIDUP DIAMBANG SETAPAK
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.
Perumnas, 22 Juni 2008
12 Mei 2008
Film Kartun Seperti Resep Dokter
09 Mei 2008
Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VI
Terumbu Karang
gemuruh ombak bertabir kecapi
menerjang selasela karang yang merapuh
aku terancam menyusurinya
di sita bahkan di siasati,
wahai lautan nan membentang
salam ku dibibir pantai
esok petang ia datang
membawa risau
memenjarakan mulut ini..dan
membaringkan tanganku dengan rupiah,
lihatlah-lihatlah
ia datang
membayar wajahwajah laut yang
tunduk oleh tuatuan karang
Kab. Barru, 2 Mei 2008
30 April 2008
Antara Rindu dan Cermin Senja
Ke-aku-an ini terasa mengelitik disetiap kuberdiri, antara sebuah tiang hidup dan pertukaran pengalaman dan retorika. Itupun tak bisa menjadi jaminan. Untuk melatih kehidupan ini, bukanlah hal sepele. Tapi bagaimana mengarah dan tak terhambat oleh kebingungan disetiap memandang mereka. Namanya kusandang bak pelangi.
Kegelisahan mencekam diatas kepedulian, mereka tak ada satu yang tahu..sangat jelas. Hanya kepekaan sebuah ucapan yang berdenyut. Menggelitik sembari berbisik. Dengan berlari sejauh mana kaki itu mencapai puncak kebenaran antara jeda dan titik.
Kehadiran sang hitam berkelana putih, sang buram siap membening, hingga setajam tikaman mulai tumpul.
Sederet kata itu, bukan kebohongan. Melainkan mereka hanya dayang-dayang yang datang silih berganti. Semacam sifat, tingkah laku menjadi tabiat. Dengan sepenggal kata, "Selalu ada cemas di medan juang, peluklah ia sebagai rindu agar kesulitan itu rasa cokelat".
Tentang Ban
Jika betul adanya, sampai kapan kita menggelindingkan ban tersebut. Atau paling tidak arah mana yang sebenar-benarnya dapat kita dahulukan. Sepekan lalu, saya menerima pesan singkat dari ponsel teman yang sedang berada di Jakarta. Ia kebetulan mendapat beasiswa untuk belajar di salah satu media cetak nasional. Entah, mengapa ia mengirimkan kalimat itu.
Mungkin ia mengingat satu cerita lama atau sebuah refkleksi saat bersamanya. Ini juga bukan satu alasan, untuk mengindahkan pesan singkat tersebut. Dengan kata lain, mencoba mengadu atau menyadarkan kehidupan yang sedang berubah oleh peradaban saat ini.
Setelah membaca pesan singkat itu. Ada banyak hal yang perlu digelindingkan dengan tujuan tepat. Seperti ketepatan terhadap disiplin waktu, misalnya. Itu pun, yang terpikir pintas setelah memahami kalimat tersebut.
Sebelum menelaah lebih jauh, mengenai teori ban. Adakalanya, kita pernah menjumpai hal-hal yang bersifat dengan manajemen kebetulan. Kalau bermula dari itu, dengan “manajemen kebetulan”. Secara umumnya, terjadi seperti janji dan sederhananya terbentuk secara tiba-tiba. Contoh lainnya, ketika menemui sebuah kebetulan. Artinya, ada satu peristiwa yang terjadi atau dialami, dan saat itu membuat kita merasa beruntung, bukan buntung.
Secara sentralisasi, beragam kemungkinan bisa kita jumpai. Mengapa demikian, sebab teori tentang ban sangat bervariasi untuk bersandar dari satu objek. Jika objeknya beradu seperti roda, apakah ban juga disebut roda.
Ini bisa jadi simulasi kata, mendarati makna. Tetapi sangat rumit untuk menyejajarkan antara ban dan roda. Saya pernah menanyakan kepada beberapa teman dan mendiskusikannya. Namun, adakalanya perdebatan menjadi keuntungan. Seperti konteks yang belum sama sekali kita dengarkan dapat kita simak.
Sebelum memahami artian yang lebih dramatis, lebih awal kita mengenal dengan tatanan filosofi ban. Seperti apa perwajahannya, dan sejauh mana menyita putaran yang perlu atau tidak. Saya justru beralasan tentang prioritas. Seberapa penting prioritas itu, hingga sejauh mana mengarahkan hal tersebut. Mungkin sama, ketika kita meluruskan keinginan. Jika tidak ada inisiatif dan kerja keras, apa yang akan terjadi.
Era global warming, yang kian merangkak menjelajahi bumi. Cukup membawa kita berjalan dari panasnya kehidupan, tanpa “penghijauan”. Oleh karena itu, sikap apa yang harus kita jamahkan pada diri sendiri. Jika jelas demikian, berharapkah kita menyandang sebuah substansi atau pekerjaan tanpa harus bekerja keras.
Jika kesederhanaan dalam menyoalisasikan kehidupan tumbuh perlahan, bagaimana ritme situasi yang kita terapkan dalam keseharian. Haruskah menjual paradigma kita dengan berkunjung dari satu tempat ke tempat lain.
Semacam sales market, kiranya. Atau mungkin anda memiliki pandangan yang berbeda pula. Jika kita berlarut-larut, tanpa bertindak. Maka hanya proses yang berjalan, bukan hasil yang kita harapkan.
Adakalanya pengalaman dan retorika, tidak menjamin untuk segala kesuksesan. Melainkan bagaimana kita beranggapan bahwa tentang ban, sangat perlu kita terapkan seperti tujuan utama, tujuan yang betul-betul diharapkan sesuai dengan keberadaan kita.
12 April 2008
Hawa Malam
yang berkiblat
dilembar rupiah
hawa malamnya
mulai riang diremang remang
meraung dibawah kelambu belang
hawa malam
bertelanjang dengan
hawa malam pun
berusik tanpa air mata
mereka digilir
sejak dentungan jam tujuh malam,
berganti pena menyundulnya
sewarna pun tak cukup dihitung
hawa malam
bersandar layaknya gerbong kereta
yang wangi tuk menghantar
sambil berdesah tuk
karena telanjangmu
cukup molek
buat tuantuan
Hayam Wuruk, 30 Oktober 2005
28 Maret 2008
SENANDUNG KAWAN
disebuah perut bumi pertiwi
wajahmu serasa lama tak jumpa
hingga sang uban bercerita
tentang butiran cintacinta malam ditanjung bayam
lalu kuterbangun aroma ketiak asin
hingga tawa murung berpose di senja pagi
ya senja pagi itu…
dan kita teringat pada puntung rokok
berganti sesekali terisap dibibir, kawan
kawan, bayang perempuan sisir pantai itu
memanjakan kita pada mata telanjang
sosoknya berani dikabut malam
sambil bersiul dibibir pantai
lalu menatap mata kita
seakan terpantul cahaya birunya laut
kawan, secangkir kopi bibi
tak cukup manis
tanpa pantulan aroma lipstik bibirnya
kataku..
kawan, terompet tahun baru
bergema kencang, sisi hitam putih petang
akan datang lagi
langkah hari ke bulan
akan berkhutbah dikepala kita
dari mata kaki
tertuju pada ubunubun
dan diselasela kita lunglai
ada percikan api yang sulit terpadamkan
ada kepalsuan yang terengah sendiri
kawan, mari kita ke taman
beli jajanan buat kenangan
esok petang, tak ada rintihan tua semata
dari pelarian senandung kawan
15 Maret 2008
ROK (Renungan Otak Kiri)
Rok
Begitu banyak bekas
Menyentuhnya
Begitu diskon pula
Harganya
Begitu nafsu
Menggelitikmu
Apakah kamu mau membuka roknya?
Hayam Wuruk 01.15 WIB/Januari 2008
Kesaksian "Boraq Cambuq"
Kisah Si Uceng di Balik Rekor MURI
Citizen reporter Boraq Cambuq menuturkan kisah seorang kawannya, yang mengikuti seleksi karyawan Trans Corp Company, yang dicatat MURI sebagai rekor seleksi karyawan dengan peserta terbanyak. Seleksi bulan Januari itu didahului dengan acara penyerahan piagam dari pihak MURI, dan disaksikan 65.000 peserta yang ikut ujian di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. (p!)
Sudah banyak peristiwa aneh, langka, unik, terbanyak, tercepat, dan ter- lainnya yang tertoreh di Museum Rekor Indonesia (MURI), termasuk salah satunya beberapa bulan lalu di Jakarta, tepatnya pada hari Minggu tanggal 21 Januari 2007. Di hari itu, sekitar pukul 15.30WIB, MURI kembali mencatat peristiwa seleksi penerimaan pegawai terbanyak di Stadion Gelora Bung Karno. MURI menganugerahkan piagam rekor kepada Trans Corp Company yang telah berhasil mengumpulkan kurang lebih 110.000 orang sebagai Peserta Rekruitmen dan Seleksi Broadcaster Development Program Batch 7.
Jumlah itu terhitung untuk peserta yang akan mengikuti tes di Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Semarang pada minggu berikutnya. Fantastis memang, sekaligus menjadi cerminan betapa banyaknya sarjana di negeri ini yang menjadi pengangguran. Hari itu, di Jakarta 65.000 manusia sedang berhadapan dengan kenyataan; tertawa bahagia dan lulus seleksi atau sedih dan pulang dengan tangan hampa. Lantaran TRANS Corp Company hanya akan meloloskan 500 peserta tes menjadi karyawan atau karyawati. Jika demikian sudah bisa ditebak hanya 500 manusia yang akan tertawa bahagia dan selebihnya akan menangis. Mungkin ini sebuah kalkulasi yang tak lazim dan menyiratkan sebuah pertanyaan yang tak lazim pula: berapa tetes air mata tercatat di MURI?
Saya membagi penuturan kisah seorang peserta rekruitmen dan seleksi Broadcaster Development Program Batch 7, asal Makassar yang ikut berpartisipasi sehingga Trans Corp Company mendapatkan rekor MURI.
Malam itu Kota Makassar diguyur hujan. Waktu menunjukkan pukul 22.30 ketika seorang anak muda di dalam kamar kos mencoba mengatupkan mata di atas kasur yang tak lagi empuk. Si anak muda mengaku beberapa hari terakhir ia selalu gelisah menjelang tidur. Bayangan wajah sang ayah, ibu, dan adik-adiknya di kampung halaman terus berkelindan di benaknya.
Sejak meraih gelar sarjana tahun lalu di STIKOM Fajar Makassar ia belum mendapat pekerjaan hingga kini. Dan sejak itu pula rasa bersalah pada keluarga terus menghantuinya. Dulu, semasa kuliah si anak muda yang bernama Zaif Al Kadir atau akrab dipanggil Uceng, 26 tahun, ini mengaku pernah bekerja sebagai loper koran selama sepuluh bulan. Ia mengundurkan diri lantaran gajinya pernah dipotong akibat tak sengaja koran jualannya jatuh ke selokan pada saat hujan turun begitu derasnya.
Kemudian ia beralih profesi sebagai pramusaji di sebuah restoran cepat saji selama dua tahun. Setelah lulus sebagai sarjana komunikasi, kini Uceng berkeinginan bekerja sebagai jurnalis.
Anak muda itu bangkit dari kasur dan menyalakan televisi 14 inci yang tergelatak di pojok kamarnya. Tak berapa lama kemudian dari kotak ajaib itu muncul iklan membawa setitik harapan: “ikuti seleksi dan rekruitmen TRANS TV…” Begitu penggalan kalimat iklan yang tertera di layar kaca televisi dan di sudut kanan atas terlihat logo: TRANS TV. Seketika Uceng tersenyum girang membaca kalimat itu. Saat itu ia mengaku sangat senang ketika pertama kali melihat iklan itu di televisi.
Segera Uceng membuka laci lemari pakaian untuk mencari ijazah yang ia simpan diantara tumpukan lembaran sertifikat pelatihan dan workshop jurnalistik. Setelah itu ia mengemasi pakaiannya. Semangat untuk mengikuti tes perekrutan karyawan Trans Corp Company di Jakarta kini tak terbendung lagi. Esok pagi ia berencana pulang kampung di Kabupaten Soppeng yang berjarak kurang lebih 200 km dari Kota Makassar untuk menyampaikan niatnya itu pada kedua orangtuanya. “Sebagai anak yang baik, sudah sepatutnya saya meminta doa restu orangtua sekaligus meminta uang sebagai bekal ke Jakarta,” ujar Uceng mengenang persiapannya berangkat ke Jakarta.
Tanggal 14 Januari 2007. Sore itu langit Jakarta mendung ketika Uceng menuruni tangga pesawat yang menerbangkankan dirinya dari Makassar. Seorang teman asal Makassar yang sudah lama menetap di Jakarta telah menunggunya di lobi bandara. Si teman lantas membawa Uceng menuju kawasan Cilandak Barat tempat di mana ia mengontrak sebuah rumah.
Malam pertama di Jakarata Uceng mengajak temannya mencari warnet untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang tes yang akan ia ikuti. Uceng tak sabar lagi ingin mendapatkan nomor registrasi peserta melalui internet.
Menjelang hari pelaksanaan tes, Uceng melewati hari-harinya di Jakarta dengan suasana suka dan duka. “Lebih banyak duka-nya sih. Saya pikir nasib saya di Jakarta tak jauh beda di Makassar, tiap hari makan terigu,” kata Uceng membahasakan mie instan sebagai terigu. Ia mengaku betah tinggal di Jakarta meski harus menghadapi resiko makan tidak teratur. “Ah, biasa itu. Dulu kalau kiriman beras terlambat, saya gunakan momen itu untuk puasa sunnah. Makanya sekarang saya terserang penyakit maag,” kata Uceng lagi dengan suara datar.
Sepintas nasib Uceng terdengar membanggakan, menggelikan, juga mengharukan. Betapa tidak, meski ia menyadari peluangnya sangat kecil untuk bisa lulus tes, namun ia tetap bersemangat untuk ikut. “Hidup ini pilihan!” ucapnya menirukan kalimat dalam iklan salah satu produk pasta gigi. “Sekali layar terkembang pantang biduk ke tepian! Kecuali layarnya robek, saribattang,” sambungnya disertai gurau canda. Tentu Uceng tidak sendirian. Entah berapa banyak anak muda seusianya yang datang dari berbagai daerah ke Jakarta, dengan cita-cita yang sama: jadi karyawan TRANS TV atau TRANS 7.
Minggu tanggal 21 Januari 2007. Siang itu sinar matahari menyengat kulit saat kawasan Gelora Bung Karno terlihat sesak oleh puluhan ribu manusia. Tak berapa lama kemudian mereka duduk berderet di bangku stadion serupa penonton pertandingan bola yang sebentar lagi digelar. Jam menunjukkan pukul 14:45 tetapi tes belum juga dimulai. Tak sedikit peserta mulai merasa gerah dan kepanasan menunggu lembaran ujian yang tak kunjung dibagikan. Mereka harus bersabar menunggu lantaran acara seremonial yang diisi dengan penganugerahan rekor MURI kepada Trans Corp Company lebih didahulukan.
Uceng duduk di deretan bangku tengah stadion Gelora Bung Karno. Di dadanya menggelantung kartu peserta yang bertuliskan identitas diri dan nomor registrasi: JKT - 15740. “Bambang na. Mandi keringat ki’ menunggu. Panjangnya lagi pidatonya Pak Chaerul Tanjung. Bayangkan, banyak sekali peserta yang datang ke stadion dari jam delapan pagi, sementara tes baru dilaksanakan pada jam empat lewat. Untung banyak cewek cantik di dekatku,” kata Uceng bergurau.
Iseng-iseng ia bertanya pada beberapa orang peserta asal daerah lain yang duduk di dekatnya tentang berapa umur, tinggi, dan sarjana apa? Dan jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut mereka justru mengusik pikiran Uceng. Ia mulai mempertanyakan keseriusan Trans Corp Company mengadakan perekrutan calon karyawan karena ternyata tak sedikit peserta yang ikut tes tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan. Misalnya, ada peserta yang mengaku belum sarjana, tinggi di bawah 170 cm dan berumur 28 tahun. Sementara syarat untuk mengikuti tes, peserta harus memiliki ijasah minimal D3, tinggi minimal 170 cm dan umur maksimal 27 tahun.
“Seharusnya pihak Trans menerapkan aturan itu pada tahap seleksi administrasi agar calon peserta tes yang tidak memenuhi persyaratan tidak diikutkan. Sebab bagaimana pun nantinya, mereka yang dinyatakan lolos tes pertama akan “jatuh” juga pada tahap berikutnya, kasihan kan?” kata Uceng menuturkan keheranannya.
Mungkin Uceng benar, kalau saja peraturan di perketat pada tahap seleksi administrasi, tentu mereka yang tidak memenuhi persyaratan tidak perlu jauh-jauh datang dari penjuru negeri ini untuk mengadu nasib di Jakarta. Adakah aturan ini segaja diabaikan agar berhasil mengumpulkan orang banyak dan mendapat rekor MURI
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Januari 2007 sekitar pukul 22:30 Uceng mengakses internet untuk melihat pengumuman peserta yang lulus tes. Bertepatan dengan itu, ayah dan ibu Uceng yang berada di Soppeng menelpon anaknya di Jakarta untuk mengetahui kelulusan si anak. Tubuh Uceng lunglai di kursi saat ia tak menemukan namanya tertulis di antara nama-nama peserta yang dinyatakan lulus tes tahap awal.
Kala itu ia mengaku sulit berdamai dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Sesaat Uceng merasa frustrasi akan keadaan yang seolah membuat dirinya tak punya kuasa lagi terhadap tubuh dan nasibnya. “Loyoka waktu saya liat tidak ada namaku. Langsung saya ingat orangtuaku di kampung. Kayak mimpi rasanya,” kata Uceng dengan wajah nelangsa. Ia berusaha meredam tangisnya ketika mengabari orangtuanya lewat handphone bahwa dirinya tidak lulus. “Suaraku bergetar waktu saya bilang sama Amboku tidak lulus ka’, beliau tahu kalau saya menangis. Amboku bilang, Jangan menangis, Nak. Sabar saja. Jangan putus asa,” tutur Uceng menirukan pesan orangtuanya.
Adegan terakhir pada kisah itu setidaknya dapat menggugah empati kita. Akhirnya tersirat lagi sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya mekanisme penganugerahan sebuah peristiwa untuk mendapat rekor MURI? Jika menilik kembali peristiwa yang berhasil mendapatkan penghargaan rekor MURI selama ini, tentu dengan mudah kita dapat mengetahui bahwa peristiwa itu biasanya disebut dengan awalan “ter”. Misalnya; terbanyak, terpanjang, terbesar, tertinggi, terkuat, tercepat atau mungkin sebaliknya. Atau peristiwa lainnya yang dinilai unik, aneh, dan ajaib.
Jika demikian, tak keliru MURI menganugerahkan penghargaan pada Trans Corp Company karena prestasinya sebagai perusahaan pertama yang berhasil mengumpulkan peserta calon karyawan “terbanyak”. Teman saya, Uceng, menjadi bagian kecil dari catatan rekor ini. Tapi ia tampaknya tak begitu peduli pada rekor itu, pun pada "partisipasi" kecilnya. Sekarang, ia sibuk mencari kerja yang lain. (p!)
13 Februari 2008
Jangan Tikam Aku Setengah Rindu
Semua peradaban ini, datang silih berganti. Seketika ia datang dengan diam, lalu mencoba mencari kehadiran sang penghiburnya. Mungkin ada saja pertemuan itu, yang berbahasa dalam kesaksian. Ataukah aku hanya pemimpi, yang hanya bernafas dan kembali berlari.
Jika ya, biarkan ia lelah. Namun sekali berkata tidak, ia tak ingin melangkah pada kelelahannya. Jiwa saja bisa lelah, untuk datang dan mencari perhentian. Mulai dari ruang pijakan hatinya, hingga kisah yang telah ada dalam kehidupannya.
Jika keharusan hidup, perlu ada ketenaran dan penindasan. Jarak apa yang hendak ditempuh. Bahkan, seruan itu pun tak cukup terdengar.
SAVE KONDOM
23 Januari 2008
Don’t MUNTABER
Seputar kehidupan masyarakat, ada pula kata GOSIP dan ISU. Berangkat dari kata tersebut, informasi mulai berangsut kesana kemari. Bahkan ada yang biasanya sekadar memberi tanpa penjelasan, masih ragu atau dengan menambah-nambah hal-hal yang bisa menimbulkan kecurangan, tidak efisien.
Bagi saya, dan kebanyakan orang mempelajari dan mencari informasi. masih tergantung dari perintah atasan. Kurangnya insiatif, atau pematangan disiplin yang belum terealisasi. Mungkin saja, saya pun demikian.