28 Maret 2008

SENANDUNG KAWAN

kawan, sayapsayap kalbu itu menghantarku
disebuah perut bumi pertiwi
wajahmu serasa lama tak jumpa
hingga sang uban bercerita
tentang butiran cintacinta malam ditanjung bayam
lalu kuterbangun aroma ketiak asin
hingga tawa murung berpose di senja pagi
ya senja pagi itu…
dan kita teringat pada puntung rokok
berganti sesekali terisap dibibir, kawan

kawan, bayang perempuan sisir pantai itu
memanjakan kita pada mata telanjang
sosoknya berani dikabut malam
sambil bersiul dibibir pantai
lalu menatap mata kita
seakan terpantul cahaya birunya laut

kawan, secangkir kopi bibi
tak cukup manis
tanpa pantulan aroma lipstik bibirnya
kataku..

kawan, terompet tahun baru
bergema kencang, sisi hitam putih petang
akan datang lagi
langkah hari ke bulan
akan berkhutbah dikepala kita
dari mata kaki
tertuju pada ubunubun
dan diselasela kita lunglai
ada percikan api yang sulit terpadamkan
ada kepalsuan yang terengah sendiri

kawan, mari kita ke taman
beli jajanan buat kenangan

esok petang, tak ada rintihan tua semata
dari pelarian senandung kawan
....cilandak 2007

15 Maret 2008

ROK (Renungan Otak Kiri)

Rok

Begitu banyak bekas
Menyentuhnya
Begitu diskon pula
Harganya
Begitu nafsu
Menggelitikmu
Apakah kamu mau membuka roknya?

Hayam Wuruk 01.15 WIB/Januari 2008

Kesaksian "Boraq Cambuq"

Kisah Si Uceng di Balik Rekor MURI

Citizen reporter Boraq Cambuq menuturkan kisah seorang kawannya, yang mengikuti seleksi karyawan Trans Corp Company, yang dicatat MURI sebagai rekor seleksi karyawan dengan peserta terbanyak. Seleksi bulan Januari itu didahului dengan acara penyerahan piagam dari pihak MURI, dan disaksikan 65.000 peserta yang ikut ujian di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. (p!)
 
Sudah banyak peristiwa aneh, langka, unik, terbanyak, tercepat, dan ter- lainnya yang tertoreh di Museum Rekor Indonesia (MURI), termasuk salah satunya beberapa bulan lalu di Jakarta, tepatnya pada hari Minggu tanggal 21 Januari 2007. Di hari itu, sekitar pukul 15.30WIB, MURI kembali mencatat peristiwa seleksi penerimaan pegawai terbanyak di Stadion Gelora Bung Karno. MURI menganugerahkan piagam rekor kepada Trans Corp Company yang telah berhasil mengumpulkan kurang lebih 110.000 orang sebagai Peserta Rekruitmen dan Seleksi Broadcaster Development Program Batch 7.

Jumlah itu terhitung untuk peserta yang akan mengikuti tes di Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Semarang pada minggu berikutnya. Fantastis memang, sekaligus menjadi cerminan betapa banyaknya sarjana di negeri ini yang menjadi pengangguran. Hari itu, di Jakarta 65.000 manusia sedang berhadapan dengan kenyataan; tertawa bahagia dan lulus seleksi atau sedih dan pulang dengan tangan hampa. Lantaran TRANS Corp Company hanya akan meloloskan 500 peserta tes menjadi karyawan atau karyawati. Jika demikian sudah bisa ditebak hanya 500 manusia yang akan tertawa bahagia dan selebihnya akan menangis. Mungkin ini sebuah kalkulasi yang tak lazim dan menyiratkan sebuah pertanyaan yang tak lazim pula: berapa tetes air mata tercatat di MURI?

Saya membagi penuturan kisah seorang peserta rekruitmen dan seleksi Broadcaster Development Program Batch 7, asal Makassar yang ikut berpartisipasi sehingga Trans Corp Company mendapatkan rekor MURI.

Malam itu Kota Makassar diguyur hujan. Waktu menunjukkan pukul 22.30 ketika seorang anak muda di dalam kamar kos mencoba mengatupkan mata di atas kasur yang tak lagi empuk. Si anak muda mengaku beberapa hari terakhir ia selalu gelisah menjelang tidur. Bayangan wajah sang ayah, ibu, dan adik-adiknya di kampung halaman terus berkelindan di benaknya.

Sejak meraih gelar sarjana tahun lalu di STIKOM Fajar Makassar ia belum mendapat pekerjaan hingga kini. Dan sejak itu pula rasa bersalah pada keluarga terus menghantuinya. Dulu, semasa kuliah si anak muda yang bernama Zaif Al Kadir atau akrab dipanggil Uceng, 26 tahun, ini mengaku pernah bekerja sebagai loper koran selama sepuluh bulan. Ia mengundurkan diri lantaran gajinya pernah dipotong akibat tak sengaja koran jualannya jatuh ke selokan pada saat hujan turun begitu derasnya.

Kemudian ia beralih profesi sebagai pramusaji di sebuah restoran cepat saji selama dua tahun. Setelah lulus sebagai sarjana komunikasi, kini Uceng berkeinginan bekerja sebagai jurnalis.

Anak muda itu bangkit dari kasur dan menyalakan televisi 14 inci yang tergelatak di pojok kamarnya. Tak berapa lama kemudian dari kotak ajaib itu muncul iklan membawa setitik harapan: “ikuti seleksi dan rekruitmen TRANS TV…” Begitu penggalan kalimat iklan yang tertera di layar kaca televisi dan di sudut kanan atas terlihat logo: TRANS TV. Seketika Uceng tersenyum girang membaca kalimat itu. Saat itu ia mengaku sangat senang ketika pertama kali melihat iklan itu di televisi.

Segera Uceng membuka laci lemari pakaian untuk mencari ijazah yang ia simpan diantara tumpukan lembaran sertifikat pelatihan dan workshop jurnalistik. Setelah itu ia mengemasi pakaiannya. Semangat untuk mengikuti tes perekrutan karyawan Trans Corp Company di Jakarta kini tak terbendung lagi. Esok pagi ia berencana pulang kampung di Kabupaten Soppeng yang berjarak kurang lebih 200 km dari Kota Makassar untuk menyampaikan niatnya itu pada kedua orangtuanya. “Sebagai anak yang baik, sudah sepatutnya saya meminta doa restu orangtua sekaligus meminta uang sebagai bekal ke Jakarta,” ujar Uceng mengenang persiapannya berangkat ke Jakarta.

Tanggal 14 Januari 2007. Sore itu langit Jakarta mendung ketika Uceng menuruni tangga pesawat yang menerbangkankan dirinya dari Makassar. Seorang teman asal Makassar yang sudah lama menetap di Jakarta telah menunggunya di lobi bandara. Si teman lantas membawa Uceng menuju kawasan Cilandak Barat tempat di mana ia mengontrak sebuah rumah.

Malam pertama di Jakarata Uceng mengajak temannya mencari warnet untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang tes yang akan ia ikuti. Uceng tak sabar lagi ingin mendapatkan nomor registrasi peserta melalui internet.

Menjelang hari pelaksanaan tes, Uceng melewati hari-harinya di Jakarta dengan suasana suka dan duka. “Lebih banyak duka-nya sih. Saya pikir nasib saya di Jakarta tak jauh beda di Makassar, tiap hari makan terigu,” kata Uceng membahasakan mie instan sebagai terigu. Ia mengaku betah tinggal di Jakarta meski harus menghadapi resiko makan tidak teratur. “Ah, biasa itu. Dulu kalau kiriman beras terlambat, saya gunakan momen itu untuk puasa sunnah. Makanya sekarang saya terserang penyakit maag,” kata Uceng lagi dengan suara datar.

Sepintas nasib Uceng terdengar membanggakan, menggelikan, juga mengharukan. Betapa tidak, meski ia menyadari peluangnya sangat kecil untuk bisa lulus tes, namun ia tetap bersemangat untuk ikut. “Hidup ini pilihan!” ucapnya menirukan kalimat dalam iklan salah satu produk pasta gigi. “Sekali layar terkembang pantang biduk ke tepian! Kecuali layarnya robek, saribattang,” sambungnya disertai gurau canda. Tentu Uceng tidak sendirian. Entah berapa banyak anak muda seusianya yang datang dari berbagai daerah ke Jakarta, dengan cita-cita yang sama: jadi karyawan TRANS TV atau TRANS 7.

Minggu tanggal 21 Januari 2007. Siang itu sinar matahari menyengat kulit saat kawasan Gelora Bung Karno terlihat sesak oleh puluhan ribu manusia. Tak berapa lama kemudian mereka duduk berderet di bangku stadion serupa penonton pertandingan bola yang sebentar lagi digelar. Jam menunjukkan pukul 14:45 tetapi tes belum juga dimulai. Tak sedikit peserta mulai merasa gerah dan kepanasan menunggu lembaran ujian yang tak kunjung dibagikan. Mereka harus bersabar menunggu lantaran acara seremonial yang diisi dengan penganugerahan rekor MURI kepada Trans Corp Company lebih didahulukan.

Uceng duduk di deretan bangku tengah stadion Gelora Bung Karno. Di dadanya menggelantung kartu peserta yang bertuliskan identitas diri dan nomor registrasi: JKT - 15740. “Bambang na. Mandi keringat ki’ menunggu. Panjangnya lagi pidatonya Pak Chaerul Tanjung. Bayangkan, banyak sekali peserta yang datang ke stadion dari jam delapan pagi, sementara tes baru dilaksanakan pada jam empat lewat. Untung banyak cewek cantik di dekatku,” kata Uceng bergurau.

Iseng-iseng ia bertanya pada beberapa orang peserta asal daerah lain yang duduk di dekatnya tentang berapa umur, tinggi, dan sarjana apa? Dan jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut mereka justru mengusik pikiran Uceng. Ia mulai mempertanyakan keseriusan Trans Corp Company mengadakan perekrutan calon karyawan karena ternyata tak sedikit peserta yang ikut tes tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan. Misalnya, ada peserta yang mengaku belum sarjana, tinggi di bawah 170 cm dan berumur 28 tahun. Sementara syarat untuk mengikuti tes, peserta harus memiliki ijasah minimal D3, tinggi minimal 170 cm dan umur maksimal 27 tahun.

“Seharusnya pihak Trans menerapkan aturan itu pada tahap seleksi administrasi agar calon peserta tes yang tidak memenuhi persyaratan tidak diikutkan. Sebab bagaimana pun nantinya, mereka yang dinyatakan lolos tes pertama akan “jatuh” juga pada tahap berikutnya, kasihan kan?” kata Uceng menuturkan keheranannya.

Mungkin Uceng benar, kalau saja peraturan di perketat pada tahap seleksi administrasi, tentu mereka yang tidak memenuhi persyaratan tidak perlu jauh-jauh datang dari penjuru negeri ini untuk mengadu nasib di Jakarta. Adakah aturan ini segaja diabaikan agar berhasil mengumpulkan orang banyak dan mendapat rekor MURI

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Januari 2007 sekitar pukul 22:30 Uceng mengakses internet untuk melihat pengumuman peserta yang lulus tes. Bertepatan dengan itu, ayah dan ibu Uceng yang berada di Soppeng menelpon anaknya di Jakarta untuk mengetahui kelulusan si anak. Tubuh Uceng lunglai di kursi saat ia tak menemukan namanya tertulis di antara nama-nama peserta yang dinyatakan lulus tes tahap awal.

Kala itu ia mengaku sulit berdamai dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Sesaat Uceng merasa frustrasi akan keadaan yang seolah membuat dirinya tak punya kuasa lagi terhadap tubuh dan nasibnya. “Loyoka waktu saya liat tidak ada namaku. Langsung saya ingat orangtuaku di kampung. Kayak mimpi rasanya,” kata Uceng dengan wajah nelangsa. Ia berusaha meredam tangisnya ketika mengabari orangtuanya lewat handphone bahwa dirinya tidak lulus. “Suaraku bergetar waktu saya bilang sama Amboku tidak lulus ka’, beliau tahu kalau saya menangis. Amboku bilang, Jangan menangis, Nak. Sabar saja. Jangan putus asa,” tutur Uceng menirukan pesan orangtuanya.

Adegan terakhir pada kisah itu setidaknya dapat menggugah empati kita. Akhirnya tersirat lagi sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya mekanisme penganugerahan sebuah peristiwa untuk mendapat rekor MURI? Jika menilik kembali peristiwa yang berhasil mendapatkan penghargaan rekor MURI selama ini, tentu dengan mudah kita dapat mengetahui bahwa peristiwa itu biasanya disebut dengan awalan “ter”. Misalnya; terbanyak, terpanjang, terbesar, tertinggi, terkuat, tercepat atau mungkin sebaliknya. Atau peristiwa lainnya yang dinilai unik, aneh, dan ajaib.

Jika demikian, tak keliru MURI menganugerahkan penghargaan pada Trans Corp Company karena prestasinya sebagai perusahaan pertama yang berhasil mengumpulkan peserta calon karyawan “terbanyak”. Teman saya, Uceng, menjadi bagian kecil dari catatan rekor ini. Tapi ia tampaknya tak begitu peduli pada rekor itu, pun pada "partisipasi" kecilnya. Sekarang, ia sibuk mencari kerja yang lain. (p!)