23 Januari 2008

Don’t MUNTABER

Mundur Tanpa Berita disingkat MUNTABER. Dari kata ini, kita bisa menyebutnya semacam penyakit, tetapi lain halnya ketika kata ini digunakan sebagai bentuk kecolongan terhadap informasi. Menelaah kata MUNTABER, seolah-olah menghantar kita pada dunia sarang penyakit yang terkadang segelintir menyebabkan kematian. Namun, sisi lainnya sangat peka dengan kinerja seseorang baik yang berprofesi maupun tidak sama sekali.

Seputar kehidupan masyarakat, ada pula kata GOSIP dan ISU. Berangkat dari kata tersebut, informasi mulai berangsut kesana kemari. Bahkan ada yang biasanya sekadar memberi tanpa penjelasan, masih ragu atau dengan menambah-nambah hal-hal yang bisa menimbulkan kecurangan, tidak efisien.
Melirik para pakar manajemen strategi memberikan tips sederhana untuk mengkaji informasi : check, re-check, cross check dan final-check. Sangat berbahaya jika seorang pemimpin tidak bisa melakukan tips-tips sederhana ini. (Kutipan Manajemen Kecerdasan, Taufik Pasiak).
Bagi saya, dan kebanyakan orang mempelajari dan mencari informasi. masih tergantung dari perintah atasan. Kurangnya insiatif, atau pematangan disiplin yang belum terealisasi. Mungkin saja, saya pun demikian.
Dengan muntaber inilah, saya berpikir dan bertanya pada diri. Jika memang demikian informasi yang kita dapatkan dan memiliki data-data yang akurat, tajam dan terpercaya. Seperti halnya meminjam slogan SCTV.
Ide atau singkatan kata ini, menjadi istilah dan kekuatan untuk tetap optimis. Mengapa ada orang yang sukses dan gagal? Ada banyak jawaban untuk ini, dan meninjaunya bisa dari beragam perspektif.
Andai saja informasi seperti Jelangkung “datang tak dijemput pulang tak diantar”, maka santailah kita sambil menunggu hari esok, esok dan esok lagi. Ini bukan aturan, paksaan atau himbauan, tetapi layaknya tentang bisik-membisik yang sering kudengungkan kepada keluarga dan kawan-kawan ku.
Mungkin karena sedemikian istimewanya, saya berupaya menjalani istilah ini dengan Don’t MUNTABER. Jika anda mendengar informasi, siapa orang pertama yang ingin tahu lebih dahulu. Sanak kelurarga, rekan kerja atau sahabat karib. Dari pilihan ini, tidak menjadi acuan, saya pun punya alasan sendiri.
Sementara informasi yang kian merangsang kita dari berbagai konsep, memaksa kita untuk menjaring sebanyak mungkin. Dengan begitu, mundur tanpa berita, berarti kecolongan. Nah, saya berupaya menyatukan keragaman kita dalam memberi informasi. tanpa memberi keterangan data yang super nota bene. Mengapa demikian, ini bukan barang baru yang harus kita jual kepada siapa saja, tetapi menciptakan keselarasan terhadap rukun seprofesi. Mungkin saja, saya tidak tahu seperti apa karakter mereka, tapi paling tidak belajar mengenal dan menghormati sesamanya.
Sangat jelas, kita butuh nama dan memegang super champions. Bahkan persaingan tetap jalan sesuai dengan aturan yang kita miliki masing-masing. Bukan berarti, mengajak untuk saling merugi, tetapi bagaimana menguji ketenangan hati dalam berpikir tanpa mengedepankan arogan dan sejenisnya.
Boleh saja, singkat saya. Karena ada penelitian mengatakan, otak manusia tidak bisa dipaksa untuk berpikir sesuai dengan pikiran yang kita inginkan. Bukan soal untuk berbicara plin plan. Ini fenomena bung, yang terlihat dimana saja. Jika informasi itu sangat berharga, maka marilah kita mainkan sesuai irama kita. Ok bung.

Revolusi Aborsi

Kasus Aborsi yang tercatat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia kini mencapai dua juta kasus. Dari jumlah kasus di negara-negara ASEAN pada umumnya mencapai 4,2 juta kasus pertahun. Dari keterangan ini, terinput dari Data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization).Tahun 2006 lalu, telah terungkap perbincangan mengenai kasus aborsi. Dengan tema “Virginitas dan Fenomena Aborsi” yang digelar di Makassar. Di acara tersebut, dihadiri seorang ahli kedokteran bernama dr Fatmawati Madya SPOG. Menurut penuturan beliau yang bekerja di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, mengakui Rumah Sakit di Makassar pun, hampir setiap hari didapati pasien yang terlibat dalam kasus aborsi. Bahkan ada pasien yang datang setelah ditangani dukun atau dilakukan sendiri.“Mereka datang dalam kondisi sudah terjadi infeksi atau pendarahan yang hebat, ujarnya sembari menambahkan, hampir setiap hari ada saja pasien yang datang ke rumah sakit meminta janinnya digugurkan, dengan alasan yang tidak jelas atau bukan alasan medis, tegasnya”.Bahkan berdasarkan data Departemen Kesehatan di Indonesia sejak tahun 1999, kasus aborsi kian bertambah. Dengan total kasus berjumlah 750 bagi remaja putri yang belum menikah. Ditambah 1.250 kasus yang dilakukan oleh ibu rumah tangga atau perempuan telah menikah.Dengan volume kasus yang tercatat pertahun. Membutuhkan peran aktif kita dalam memberantas kasus tersebut. Dalam hal ini, yang terjadi bagi para anak remaja putri, bahkan mereka yang masih berstatus mahasiswi, pegawai swasta atau pekerja sex komersial.Jika kita sepintas melihat ke belakang, banyaknya perlakuan hubungan sex yang berbau ekstrim. Seperti hubungan sodomi, blow job, threesome, dan lain-lain. Bayangkan saja, bagaimana free sex yang terjadi di pasaran kota-kota Asia seperti Jakarta yang sebagian besar perempuannya bergonta-ganti pasangan? Atau bagaimana dahsyatnya bila terjadi penularan penyakit kelamin?Menurut Ichwan, “Sekarang, sex bukan lagi sekedar kata sifat. Melainkan juga sudut pandang. Lebih ekstrim lagi, aborsi adalah bisnis. Dalam dunia pergaulan, segelintir anak remaja terbiasa melakukan hubungan diluar nikah, lantaran sama suka dan rasa coba-coba. Tentunya, keinginan mereka semakin penasaran untuk mencoba berbuat zina. Seraya tempat mesumnya kebanyakan terjadi di wisma atau hotel berbintang dua. Seakan mereka tak pernah khawatir akan hal-hal yang menjadi ketergantungan sex.Sebuah fenomena nyata yang hadir dikehidupan kita. Selama ini rasa penyesalan akhirnya datang, dari kisah pengalaman Ratu yang pernah melakukan aborsi. Mulanya mereka bertemu bak sepasang jalinan cinta. Mereka menjalani hubungan terbilang tahunan. Lambat laun, karena sering melakukan hubungan sex bebas. Akhirnya hubungan mereka retak dan harus menanggung ulahnya sendiri.Mereka tak menyadari apa yang menimpanya. Sampai- sampai keegosian Rais berujung untuk menggugurkan kandungan Ratu. Disaat pertengkaran terjadi, disela itu ia meminta pertanggung jawaban. Tak dinyana, yang terlontar kata digugurkan saja. Lantas, bagaimana kekuasaan Tuhan yang menciptakan makhluk-Nya untuk berhak lahir di bumi. Seakan anugerah yang diberikan itu terbuang percuma.Akhirnya, Ratu yang tak ingin kehilangan pekerjaan. Ia pun mencari bantuan dari mantan pacarnya (Risal) yang juga berprofesi sebagai perantara di beberapa tempat aborsi.Mulanya Ratu takut untuk melakukan aborsi. Walau situasi dan kondisi yang dialami, membuat ia nekat untuk melakukan kejahatan itu. Dengan keterpaksaan, ia rela mengorek uang tabungan miliknya. Setelah ia menemui Risal, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit hitam legam. Singkat kata, Ratu menanyakan tempat untuk aborsi.Risal, tidak hanya melayani pasien untuk aborsi. Tetapi, sering kali ia menyelamatkan teman wanitanya dengan cukup mengkomsumsi pil/ramuan yang terdapat di apotek. Kepanikan Ratu makin terasa, gegas pun memberitahukan usia kandungannya. Dengan wajah pucat, ia membisik dengan nada datar 2 bulan, ujar Ratu.Setelah menyimak ucapan Ratu. Risal pun berangkat dengan membawa uang sebanyak 500 ribu rupiah, buat biaya aborsi. Dipenghujung waktu, menunggu kabar dan kepastian. Setengah jam berlalu, handphone milik Ratu bernada pesan singkat. Bertuliskan, “saya sudah tanya dukun itu, katanya ia tidak bisa dengan harga 500 ribu dan itu hanya kandungan 1 bulan saja, ujar Risal.Kegelisahan Ratu kian panik setelah membaca pesan tersebut. Ditambah, kekebalan tubuh mulai rapuh yang tak biasanya. Bahkan rasa mual, pusing masih terasa berat baginya. Di masa haidnya yang tidak teratur, membuat diri Ratu terlalu sensititf. Namun, raut Rais yang terlihat membingungkan dan tak tahu harus berbuat apa lagi.Keesokan harinya, Risal datang ke rumah Ratu. Membawa resep untuk menebus obat tersebut. Singkat, “saya hanya bisa memberikan ini, mudah-mudahan bisa berhasil karena usia kandungan kamu belum masuk pada bulan ketiga, ujar Risal”Banyak cara yang kadang bisa dijadikan untuk menggagalkan janin. Tetapi, tempat aborsi pun masih diminati sebagian orang yang mampu membayar dengan harga jutaan rupiah. Meski dengan mengkomsumsi pil atau pengorekan rahim, tentu semua memiliki efek dan nyawa pun bisa jadi taruhannya.Praktek aborsi, tidak sekadar berada di pelosok desa. Kota, dimana kita lahir kerap terdapat beberapa tempat selubung yang dianggap dan hanya diketahui bagi segelintir masyarakat setempat. Soal lokasinya pun beragam, seraya kita harus menguntik dan mengamati. Walau kadang anda harus tahu siapa dan seberapa lama pekerjaan itu ia lakoni, guna mencari rasa aman terhadap diri kita.Tempat pengguguran itu biasa ditempuh dengan berjalan kaki. Melalui sebuah jalan dan masuk ke lorong kecil yang bebatuan. Setelah kita tiba di lorong kecil, pasien dan perantara yang hanya bisa berjalan masuk menuju rumah aborsi itu. Dengan demikian, mereka bekerja secara teliti dan tidak sembarang membawa orang masuk kesitu. Bahkan setelah selesai, mereka kembali secara sembunyi-sembunyi.Ratu yang bekerja di bank swasta. Dan Rais yang masih duduk dibangku kuliah di perguruan tinggi negeri Makassar. Mereka mengalami kasus ini dengan rasa penyesalan dan berharap tidak mengulangi prilaku ini, tandas Rais. Bahkan ia berjanji setelah ini, untuk menikahi Ratu. Lantas, apa yang menjadi alasan hingga mereka pelit melihat hidup.Jika kalimat di atas masih terasa berat untuk dibaca di waktu santai, baiklah kita ngobrol tentang keputusasaan saja. Sosok penyesalan dan rasa bersalah cenderung datang di babak akhir. Semua orang sepakat kalau keganasan macan tak akan pernah melukai anaknya sendiri. Tapi kenapa dengan pasangan ini, yang tega mengakhiri anaknya dalam keadaan tersiksa. Mungkin saja ada ketakutan akan hubungan yang belum resmi atau menghindari rasa malu dari pihak keluarga masing-masing.Pergulatan kasus aborsi mulai dianggap sebagai ancaman pertahun. Jika benar atau salah, apakah mereka tak khawatir dampak dari aborsi? Adakah rasa tidak nyaman bila tak melakukan hubungan sex bebas? Atau, saat ini justru diperlukan hubungan itu? Bisa saja ada kemungkinan satu atau dua bulan orang akan melakukan aborsi?Berangkat dari pertanyaan di atas. Memang kasus aborsi kerap kali dianggap nilai mati. Dimana kebebasan mereka kerap terjadi dan didukung oleh beberapa faktor sebelum melakukan hubungan sex diluar nikah. Misalnya, kondisi ekonomi, broken home, hiburan malam, mabuk-mabukan sampai menonton film blue dan lain-lain.Di Makassar, tersebar puluhan pergaulan bebas. Baik untuk menengah ke atas, maupun untuk kalangan yang biasa saja. Setidaknya sejak akhir 1999, kasus aborsi ini mulai diberantas. Tapi toh, malah menjadi budaya yang buruk dan sulit menebak mana yang pernah melakukan aborsi atau sebaliknya. Fakta ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya perempuan yang khawatir untuk melakukan pergaulan bebas. Dengan sendirinya, banyak pula anak-anak generasi baru yang takut dan harus memilah pergaulan saat ini.Perkembangan dunia pergaulan yang mayoritas anak-anak remaja. Seraya cenderung hidup dengan prilaku baru dan beringsut ke dunia trendsetter. Pesatnya kehidupan yang indentik dengan prostitusi, membuat akar mental anak remaja tertimpa oleh pembunuhan karakter yang kerap mempengaruhi psikologisnya.Dengan kata lain, aborsi hanyalah penyakit psikologis. Dimana ahli kedokteran menuturkan, bahwa seorang perempuan yang melakukan aborsi, mengakibatkan pengaruh gangguan jiwa yang sensitif dan tertutup dalam hal pengembangan janin, ujar Fatmawati. Dari proses ketegangan itulah cenderung ditemui kemandulan, bahkan timbulnya penyakit kanker rahim, kanker prostak atau rusaknya kelenjer vagina.Kisah Ratu hanya sekelumit bagian dari para pelaku aborsi. Tentu Ratu bukan satu-satunya yang biasa melakukan hal ini. Bahkan, bisa saja anak-anak kita bagian dari mereka yang tak disadari.

Pengadilan Bahasa

Maraknya pemberitaan mengenai kekerasan di lembaga pendidikan yang bahkan merenggut korban nyawa, membuat citizen reporter Zaif Al Kadir menuliskan cacatan refleksi saat menjalani pendidikan di salah satu pesantren terkenal di Makassar, beberapa tahun silam. Menempa disiplin santri dengan tindakan tegas sudah menjadi tradisi turun temurun. Namun yang menjadi soal, apakah kekerasan demi kekerasan, efektif menegakkan disiplin? (p!)
Banyak orangtua yang memercayakan pendidikan anaknya di pesantren, dengan harapan agar kelak sang anak bisa tumbuh cerdas, berakhlak mulia serta memiliki ilmu agama yang memadai. Sederhananya, lulusan pesantren diharapkan memiliki iman dan takwa yang baik selain penguasaan pengetahuan umum yang memuaskan. Di pesantren tempat saya menimba ilmu, pemahaman bahasa Arab dan peningkatan akhlak menjadi hal yang sangat ditekankan. Namun selain kemampuan belajar, para calon santri harus mempersiapkan fisik dan mental dengan baik agar bisa secara perlahan menyesuaikan diri dengan kehidupan di pesantren.
Di pesantren tempat saya belajar, para santri tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari para pembina dan pengajar di ruang kelas. Mereka juga dididik dengan suatu pola bimbingan belajar yang dapat dilakukan di mana saja, bahkan di ruang makan. Pola ini terbukti sangat efektif dalam membantu santri menyerap pelajaran-pelajarannya. Namun yang patut menjadi perhatian, sistem senior-yunior dalam pergaulan sehari-hari terasa sangat kental. Bahkan, tidak jarang santri senior terasa lebih mengerikan penampakannya dibandingkan guru.
Salah satu hal yang membuat santri baru gemetar ketakutan dan memang harus siap mental adalah tingkah pola para senior, selain para pembina dan guru. Di pesantren saya belajar, pengadilan bahasa atau dalam bahasa Arabnya disebut Mahkamah Lugga adalah salah satu ajang unjuk gigi para santri senior terhadap santri yunior. Saat menjadi santri baru, saya pun merasakan kebimbangan yang luar biasa mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang Mahkamah Lugga ini. Kebimbangan yang kemudian melahirkan rasa takut yang luar biasa. Para santri senior akan bertindak seperti polisi dan hakim bahasa, mereka menahan dan mengadili santri yang kedapatan tidak berbahasa Arab di dalam lingkungan pesantren.
Sebenarnya, cerita yang tersebar mengenai pesantren ini sangat mahsyur di Sulawesi Selatan. Pendirinya dikenang sebagai pendidik yang bijaksana dan penuh rasa kekeluargaan, dan saya kira inilah yang membuat banyak orangtua mengirim anak-anaknya belajar di pesantren ini. Sayangnya, di balik semua cerita hebat itu, saya dan santri-santri baru harus melalui masa-masa penuh ketakutan bila berhadapan dengan para senior yang duduk di pengadilan bahasa.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang kawan saya yang bernama Habibi yang menjadi korban pengadilan bahasa itu. Sebenarnya, menurut Habibi, sanksi yang dijalani para santri bukanlah hanya soal pelanggaran bahasa, tapi juga dalam hal berpakaian dan lain-lain. Bila ada santri yang kedapatan oleh pengawas tidak berbaju gamis, maka ia sudah pasti kena sanksi. Lantas, sanksinya berupa apa? Nah, ini bisa macam-macam jawabannya.
Atas nama meningkatkan kedisiplinan maka ganjaran yang paling ringan semisal kena pukulan handuk yang dililit mirip belut sawah yang dilayangkan para senior, hingga gamparan dengan kayu bekas patahan kursi, adalah hal biasa. Habibi menjelaskan, para santri senior akan menjatuhkan hukuman bila tak senang melihat para santri tingkat bawah berbondong-bondong tidak beraturan mandi di sumur dan menghabiskan waktu yang lama pula. Pokoknya, para senior ingin agar kawasan sumur dan sekitarnya sudah kosong dan rapi, saat tiba waktunya bagi mereka untuk mandi.
Di suatu hari, di salah satu asrama pesantren itu tiba-tiba terdengar percakapan bahasa Indonesia yang panjang. Tak lama setelah perbincangan itu terdengar, seorang pembina datang ke arah kerumunan santri yang berdialog tersebut. Ketakutan yang sering hadir lewat cerita dari mulut ke mulut, kini hadir dengan nyata di depan mata.
“Anta, limaza bilugatull Indonesia”, ujar sang Pembina. (Kamu, kenapa berbahasa Indonesia?) “Afwan ustadz, ana la urrid kazallik, summa sallikaa awallan,” jawab Habibi.(Maaf pembina, bukannya saya yang mulai, tapi dia) “La, anta bilugatull Indonesia”, tegas sang pembina. (Tidak, kamu yang berbahasa Indonesia) “Summa sholat isya bada, tammal anta li mahkamah lugga.” (Setelah shalat isya, kamu masuk pengadilan bahasa). “Naam ustadz, suqran kasiiran,” kata Habibi dengan suara gemetar. (Baik pembina, terima kasih banyak)
Percapakan dalam bahasa Indonesia beberapa menit saja itu telah membawa petaka. Mereka yang berada di kamar tersebut, bergegas keluar dan menuju ke mesjid untuk salat isya. Pukul 7.30 malam ketika para santri selesai menunaikan shalat isya, saat itulah diumumkan para santri yang melanggar dan kedapatan berbahasa Indonesia.
Suasana dalam masjid terlihat begitu ramai. Seorang santri tingkat 5 kemudian berjalan menuju mimbar. Ia berceramah kurang lebih tujuh menit, dan setelah itu ia mengumumkan nama-nama santri yang melanggar pada hari itu. Di saat pembacaan nama-nama santri, suasana Mesjid tiba-tiba diam seribu bahasa.
Nama kawan saya, Habibi juga disebut. Sekitar setengah jam pengumuman berlangsung, mereka diberi waktu satu jam untuk kembali ke asrama dan menuju ke ruang pengadilan bahasa. Bagi mereka yang melanggar, jika terlambat datang ke ruang pengadilan tersebut, bisa mendapatkan sanksi dua kali lipat.
Habibi, yang terlihat murung, harus rela berjalan menuju tempat tersebut. Para pembina asrama mulai terlihat di depan pintu pengadilan, diantara mereka adalah santri tingkat 5 dan 6. Mereka layaknya para penguasa sewenang-wenang yang berhati dingin dan tanpa rasa peduli sama sekali.
Malam itu, pengadilan bahasa pun dimulai. Dari luar, para santri yang mengamati dari jauhmendengarkan suara jeritan kesakitan yang berasal dari ruang tersebut. Tak berapa lama, Habibi keluar dengan memar yang tampak jelas di paha kiri dan kanannya. Korban lainnya mendapatkan tamparan yang menorehkan bekas merah, atau hantaman di bagian tubuh yang lain.
Setelah mendapatkan ganjaran lebam-lebam itu, apakah Habibi akan jera berbahasa Indonesia di dalam lingkungan pesantren atau apakah ia kemudian terpacu meningkatkan kemahiran bahasa Arabnya? Ini yang tidak pernah dievaluasi. Mahkmaha Lugga itu ibaratnya sebagai tempat pelampiasan kemarahan saja, bukannya untuk menempa para santri yang melanggar. Sungguh, menyaksikan Habibi yang malang, saya berpikir dengan cemas, betapa tipisnya perbedaan “mengajar” dan “menghajar” dalam kondisi yang seperti ini. Sudah pasti, jeritan kesakitan yang hadir di Mahkamah Lugga adalah kenangan yang ada di benak setiap santri yang sempat mengecap pendidikan di pesantren ini. Sebuah tradisi yang berlangsung turun temurun, tanpa ada satu pun yang pernah berani bertanya dengan lantang, apakah memang demikian etika pengajaran yang seharusnya? Ataukah harus menunggu korban jiwa seperti tragedi di IPDN, barulah kemudian kita semua berteriak menyalahkan banyak hal?