30 April 2008

Antara Rindu dan Cermin Senja

Di antara kemasan yang masih miring di kepalaku, banyak gelombang menaruh kegelisahan. Terkadang membuat pertanyaan padaku. Seuntai kelahiran kecil yang kudapat dari seorang ibunda, bukan hal biasa. Melainkan tak biasa. Dengan penuh kejelihan menancapkan keberanian dalam segala hal, tentang berpikir, berbuat apa saja, bertindak seadanya, berakhlak seutuhnya, memberi kepercayaan, bertanggung jawab, bergaul dikalangan para parasit dan benalu, hingga mengenal kota 'lidah' bagi orang-orang yang mencakapnya seperti neraka.
Ke-aku-an ini terasa mengelitik disetiap kuberdiri, antara sebuah tiang hidup dan pertukaran pengalaman dan retorika. Itupun tak bisa menjadi jaminan. Untuk melatih kehidupan ini, bukanlah hal sepele. Tapi bagaimana mengarah dan tak terhambat oleh kebingungan disetiap memandang mereka. Namanya kusandang bak pelangi.
Kegelisahan mencekam diatas kepedulian, mereka tak ada satu yang tahu..sangat jelas. Hanya kepekaan sebuah ucapan yang berdenyut. Menggelitik sembari berbisik. Dengan berlari sejauh mana kaki itu mencapai puncak kebenaran antara jeda dan titik.
Kehadiran sang hitam berkelana putih, sang buram siap membening, hingga setajam tikaman mulai tumpul.
Sederet kata itu, bukan kebohongan. Melainkan mereka hanya dayang-dayang yang datang silih berganti. Semacam sifat, tingkah laku menjadi tabiat. Dengan sepenggal kata, "Selalu ada cemas di medan juang, peluklah ia sebagai rindu agar kesulitan itu rasa cokelat".

Tentang Ban

Mungkinkah kita atau segelintir orang, pernah menyimak tentang bentuk ban. Semacam benda yang bergelinding, dengan rotasi berputar sesuai dengan arah yang dituju melalui satu tempat ia berhenti. Sementara apa yang sesuai dengan jalur yang ditempuh. Jika tentang ban diaplikasikan dengan teori, mungkin saja ia mempunyai reaksi yang sangat peka terhadap manusia. Dengan keuntungannya, ban pun bisa mengarah pada dunia mimpi yang biasa kita angankan.

Jika betul adanya, sampai kapan kita menggelindingkan ban tersebut. Atau paling tidak arah mana yang sebenar-benarnya dapat kita dahulukan. Sepekan lalu, saya menerima pesan singkat dari ponsel teman yang sedang berada di Jakarta. Ia kebetulan mendapat beasiswa untuk belajar di salah satu media cetak nasional. Entah, mengapa ia mengirimkan kalimat itu.

Mungkin ia mengingat satu cerita lama atau sebuah refkleksi saat bersamanya. Ini juga bukan satu alasan, untuk mengindahkan pesan singkat tersebut. Dengan kata lain, mencoba mengadu atau menyadarkan kehidupan yang sedang berubah oleh peradaban saat ini.

Setelah membaca pesan singkat itu. Ada banyak hal yang perlu digelindingkan dengan tujuan tepat. Seperti ketepatan terhadap disiplin waktu, misalnya. Itu pun, yang terpikir pintas setelah memahami kalimat tersebut.

Sebelum menelaah lebih jauh, mengenai teori ban. Adakalanya, kita pernah menjumpai hal-hal yang bersifat dengan manajemen kebetulan. Kalau bermula dari itu, dengan “manajemen kebetulan”. Secara umumnya, terjadi seperti janji dan sederhananya terbentuk secara tiba-tiba. Contoh lainnya, ketika menemui sebuah kebetulan. Artinya, ada satu peristiwa yang terjadi atau dialami, dan saat itu membuat kita merasa beruntung, bukan buntung.

Secara sentralisasi, beragam kemungkinan bisa kita jumpai. Mengapa demikian, sebab teori tentang ban sangat bervariasi untuk bersandar dari satu objek. Jika objeknya beradu seperti roda, apakah ban juga disebut roda.

Ini bisa jadi simulasi kata, mendarati makna. Tetapi sangat rumit untuk menyejajarkan antara ban dan roda. Saya pernah menanyakan kepada beberapa teman dan mendiskusikannya. Namun, adakalanya perdebatan menjadi keuntungan. Seperti konteks yang belum sama sekali kita dengarkan dapat kita simak.

Sebelum memahami artian yang lebih dramatis, lebih awal kita mengenal dengan tatanan filosofi ban. Seperti apa perwajahannya, dan sejauh mana menyita putaran yang perlu atau tidak. Saya justru beralasan tentang prioritas. Seberapa penting prioritas itu, hingga sejauh mana mengarahkan hal tersebut. Mungkin sama, ketika kita meluruskan keinginan. Jika tidak ada inisiatif dan kerja keras, apa yang akan terjadi.

Era global warming, yang kian merangkak menjelajahi bumi. Cukup membawa kita berjalan dari panasnya kehidupan, tanpa “penghijauan”. Oleh karena itu, sikap apa yang harus kita jamahkan pada diri sendiri. Jika jelas demikian, berharapkah kita menyandang sebuah substansi atau pekerjaan tanpa harus bekerja keras.

Jika kesederhanaan dalam menyoalisasikan kehidupan tumbuh perlahan, bagaimana ritme situasi yang kita terapkan dalam keseharian. Haruskah menjual paradigma kita dengan berkunjung dari satu tempat ke tempat lain.

Semacam sales market, kiranya. Atau mungkin anda memiliki pandangan yang berbeda pula. Jika kita berlarut-larut, tanpa bertindak. Maka hanya proses yang berjalan, bukan hasil yang kita harapkan.

Adakalanya pengalaman dan retorika, tidak menjamin untuk segala kesuksesan. Melainkan bagaimana kita beranggapan bahwa tentang ban, sangat perlu kita terapkan seperti tujuan utama, tujuan yang betul-betul diharapkan sesuai dengan keberadaan kita.





12 April 2008

Hawa Malam

hawa malam
yang berkiblat
dilembar rupiah

hawa malamnya
mulai riang diremang remang
meraung dibawah kelambu belang

hawa malam
bertelanjang dengan
riang dan berdesah picik
diranjang empuknya

hawa malam pun
berusik tanpa air mata

mereka digilir
sejak dentungan jam tujuh malam,
berganti pena menyundulnya
sewarna pun tak cukup dihitung

hawa malam
bersandar layaknya gerbong kereta
yang wangi tuk menghantar
sambil berdesah tuk
merayu

karena telanjangmu
cukup molek
buat tuantuan

Hayam Wuruk, 30 Oktober 2005