27 Juni 2008

HIDUP DIAMBANG SETAPAK

Seperti apa kehidupan orang yang berada diambang setapak? Kata ‘setapak’ sama halnya dengan sebutan lorong atau gang. Namun, dikompleks itu tidak beda dari biasanya. Pertemuan warga dengan cara berkumpul dan melakukan aktifitas sesuka hatinya. Suatu waktu saya melintas dan memperhatikan orang-orang disekeliling setapak. Ada yang dengan santai berkaca pada diri, sampai para pria yang ubanan memandang kandang ayam miliknya. Bahkan adapula yang sibuk dengan tradisi setapak “gosip”.
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.

Perumnas, 22 Juni 2008