13 Februari 2008

Jangan Tikam Aku Setengah Rindu

Sejak aku mengenalnya, banyak gundah yang belum terjawab. Sama halnya, diwaktu pagi ia berangkat dan pulang tanpa pamit. Entah, aku berbisik pada siapa. Bukan kamu, bahkan bukan untuk yang kesekian kalinya. Jika sewaktu masa, ia menjenguk dan menanyakan kabar. Ucapkanlah kata, tentang tikaman setengah rindu.
Semua peradaban ini, datang silih berganti. Seketika ia datang dengan diam, lalu mencoba mencari kehadiran sang penghiburnya. Mungkin ada saja pertemuan itu, yang berbahasa dalam kesaksian. Ataukah aku hanya pemimpi, yang hanya bernafas dan kembali berlari.
Jika ya, biarkan ia lelah. Namun sekali berkata tidak, ia tak ingin melangkah pada kelelahannya. Jiwa saja bisa lelah, untuk datang dan mencari perhentian. Mulai dari ruang pijakan hatinya, hingga kisah yang telah ada dalam kehidupannya.
Jika keharusan hidup, perlu ada ketenaran dan penindasan. Jarak apa yang hendak ditempuh. Bahkan, seruan itu pun tak cukup terdengar.

SAVE KONDOM

Ketika mereka. Dia, aku dan kamu. Datang dan dianugerahi satu kelahiran dan hidup atas nama dunia ini. Sementara bentuk kehidupan yang kita rasa harus rela, pasrah, takut bahkan sesantainya kita melihat kenyataan itu. Sebuah fenomena dalam mata realitas yang bertentangan nyata dan berada dalam kehidupan. Tentang perawan, dimana kita melihat dan mengusik sebuah pertanyaan untuk perawan.
Perawan. Yah, perawan itu sangat nyaman, bersih, murni. Tetapi keaslian itu, kita pertanyakan, apakah terhitung tersisa atau tak tersisa. Bila sisa keperawanan menyambar kebohongan, apakah kita masih merasa tanggung untuk menghitung harga perawan yang dinilai cinta, uang atau kekerasan. Sebut saja, pemerkosaan, menjual keperawanan mereka, secara ilegal atau dasar dari rasa sama suka. Dengan penaburan cinta lewat perawan, itukah arti kesetiaan.
Saya gelisah tentang keperawanan, dan jauh dari rasa siksa mereka saat ini. Tentang dan mengenai sebuah film berjudul KIDS by Larry Clark. Semacam personal seks dalam mengadu kisah asmara, dengan pendidikan seks yang membuat penderitaan, merasa berani dan dibawah tekanan kesadaran. Memang, atmosfir film ini cukup realitas dan menjadi cermin budaya plus-plus. Sebab plus tersebut, sama ketika hati yang diluluhkan dengan kata-kata dan pengaruh psikologi pada bawah sadarnya.
Secara sadar, tulisan ini tak mengajak kalian untuk menonton film berjudul KIDS. Tapi, merangsang keninaboboan kita terhadap kerasnya pergaulan seks, terutama anak remaja yang sekadar coba-coba atau terpengaruh dalam hal apa saja.
Peran dan tantangan atas perawan cukup menggairahkan mata, kelamin dan jari-jari tangan ini. Kenyataan dan pengakuan, mulai beramai-ramai menyelimuti hidup kita dalam ketuaan. Sejak peristiwa terakhir, mereka ayam kampus, PSK, gadis lambaian, anak dibawah umur dan begitu banyak nama hingga detik ini.
Dari kesekian yang tertera, dipakai semalam dengan tarif tertentu. Adapula yang sekadar gratis untuk nama cinta. Bahkan, mereka yang merasa disebut “jablai”. Dengan memperhitungkan masa keperawanan, hingga tahun 2007 telah banyak penyakit yang harus disembuhkan. Semacam HIV/AIDS, gejala kematian yang tak lama bertahan untuk hidup.
Ketika pembuktian penyakit itu menular, seberapa cemas hidup mereka yang menderita. Merasa diri terhina dan dijauhi oleh masyarakat. Namun, teknologi saat ini sudah menglobal. Banyak perenungan yang menghantar mereka untuk berobat atau mengkomsumsi obat-obatan sesuai prosedur kedokteraan.
Terlihat ironis, menderita. Dari sekian penyakit yang timbul akibat hubungan seks bebas, itu kerap dijumpai akibat penggunaan kondom yang dianggap sepele. Semacam alat kontrasepsi, yang menjadi bingkai di apotek saja.