19 Agustus 2008

Matahari Mulai Menyengat Kulit Ku

Ada banyak cerita dan fenomena yang aku potret. Mereka terkadang kejam dengan dunianya, atau setidaknya berani memutar keadaan yang sementara. Waktu terus menghantar pada titik resah, namun kesabaranlah yang datang menjadi cermin dalam hari ku. Entah, ini cobaan atau sebuah kamuflase. Sementara aku masih menyengat dari matahari yang kemarin.

11 Agustus 2008

STIKOM FAJAR, I am sorry good bye

Gerbang STIKOM FAJAR, tak lama lagi.
Ada wujud baru bernama UNIVERSITAS FAJAR.
Aku pulang tidur..
Bertanya pada mama..
Tentang RAKYAT yang dulu..
Di kampus itu kawan.
"KESAKSIAN KITA"

01 Agustus 2008

Selamatkan Budaya Kita

Mungkin saja, saya mengawali sebuah kalimat :

Salam budaya,

Berangkat dari temu teman teater nusantara VI yang diadakan di kota pahlawan. Sejuta aksi dan peran dari berbagai komuitas datang silih berganti. Para komunitas yang ikut serta dalam acara ini, datang dari penjuru nusantara. Mereka pun merasa terhormat bila budaya apa yang mesti diselamatkan. Baik halnya dalam pementasan, hingga suasana apa yang pantas untuk diselamatkan bagi teman-teman dengan beragam suku dan budaya. Sementara, para teman yang datang dari Makassar, Gorontalo, Kalimantan, Papua, Bali dan kota-kota lainnya pun ikut menikmati kegelisahan tersebut.

Boleh di kata sebelum kegiatan dan proposal itu terdengar dari telinga teman-teman, mungkin saja sekian hari mereka telah mempersiapkan sebuah naskah untuk di pentaskan. Bahkan tidak hanya itu. Semacam biaya hidup, yang paling lazim ketika kita merantau ke negeri seberang. Sejuta makna pun dihadapkan dengan kenyataan, sembari berpikir satu visi dan tekad yang tak lepas dari semangat para seniman Indonesia.

Kegiatan yang berlangusng sejak tanggal 25 Juli hingga 2 Agustus 2008. Yang diperhitungkan Selama 9 hari oleh pihak panitia. Mengenai SDM dan etika yang nampak dari panitia, terbentuk kwalitas yang kurang sempurna, terbukti dari para komunitas yang mengeluh dan merasakan fasilitas dengan seadanya, atau setidaknya menyadarkan pada kontribusi yang mesti disesuaikan. Sekiranya kita sikapi dengan rasa yang lebih rasional saja.

Dalam tema yang diangkat dalam acara ini, tentang “ selamatkan budaya kita”. Seperti apa gaun tersebut. Kegiatan ini berupa karnaval budaya, workshop (penyutradaraan, keaktoran, musik dan make up) selain itu disediakan pula sebuah apresiasi pementasan dan dilanjutkan dengan forum diskusi yang ritmenya berdasar rundown acara. Seperti apakah penyikapan teman-teman dalam acara ini dan bagaimana nadi kesenian selama temu teman teater nusantara ini.

Selain tata karma dan etika. Ada kalanya permasalahan yang ditemui dalam kegiatan ini. Hingga solusi apa yang sepadan untuk kita temui. Mungkin saja, ada rintihan yang mesti disampaikan atau sekiranya mewakili rasa yang diam tentang apa gambaran kesenian kampus selama ini.

Secara garis umum, kesenian kampus selama ini masih buas dengan fenomena rongsokan. Mengapa saya menyatakan demikian. Karena adakalanya, salah satu kampus masih diabaikan dengan fasilitas hingga dukungan secara empati. Seolah-olah, hantaman untuk kesenian kampus akan dilumat dengan politik kultur.


Sejak kesadaran itu mulai terkemas, maka teman-teman harus paham tentang sejauh mana apresiasi kampus kita mengenai kesenian kampus. Sementara itu, tidak hanya dari segi fasilitas saja, bahkan adanya kontoversi antara pihak akademik dan para UKM yang berada pada posisi dibawah naungan pada diktator kampus.

Dalam hal ini, kesenian kampus makin terpuruk oleh sebuah argument yang sangat halus. Maksud kehalusan tersebut, adalah adanya oknum yang tidak bertanggung jawab, terhadap apa cara memaknai dan menyandarkan kesemutan seni dalam aura kampus. Bahkan, boleh dikata sejauh ini ada banyak pergulatan seni yang mendorong kawula muda untuk tetap eksis. Tidak hanya dengan teater saja. Tetapi soal mengenal dan memahami sarapan sastra. Tentang menulis dan meramu kata-kata yang pantas untuk diteriakan.

Sekali lagi, melayangkan kalimat “selamatkan budaya kita”.
Jika memang aroma budaya yang ingin diselamatkan selalu berhadapan dengan dunia kesenian kampus. Maka sederhananya, saya akan mencoba merenungkan dengan pijakan yang rata pada setiap temu teman se-nusantara ini. Dalam artian, mencoba membahas keragaman yang senantiasa jarang dipertontonkan pada saat temu teman se-nusantara.



HIDUP DIAMBANG SETAPAK

Seperti apa kehidupan orang yang berada diambang setapak? Kata ‘setapak’ sama halnya dengan sebutan lorong atau gang. Namun, dikompleks itu tidak beda dari biasanya. Pertemuan warga dengan cara berkumpul dan melakukan aktifitas sesuka hatinya. Suatu waktu saya melintas dan memperhatikan orang-orang disekeliling setapak. Ada yang dengan santai berkaca pada diri, sampai para pria yang ubanan memandang kandang ayam miliknya. Bahkan adapula yang sibuk dengan tradisi setapak “gosip”.
Dari kesekian banyak orang yang melintas, saya menyempatkan diri melintas dan menemui seseorang dengan wajah sumringah. Ia sepertinya kalah dalam bercinta. Bukan cinta soal Tuhan, ataupun kekalahan atas Perempuan. Tetapi, ia menunjukkan satu tembok yang kokoh. Dan kebetulan ia sedang berada tepat dibelakang tembok itu. Saya bertanya, namun hanya tatapan dan jawaban pun terabaikan. Sepulang dari hadapan pria baya itu, saya masih bingung dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tembok itu dijadikan satu alasan untuk kalah.
Banyak alasan mengenal orang lain, sama ketika menyatukan hati yang berambang pada cinta sejati. Semua butuh pengorbanan, bukan hanya waktu. Melainkan cara berpikir dan berproses untuk melakukan tindakan. Kehidupan di setapak, tidak seperti pemukiman yang dijaga oleh satpam. Hanya wargalah yang berperan aktif. Sama ketika kerukunan dalam bersosialisasi. Selau diterapkan, namun ada pula kendala yang biasa terjadi. Semacam pembatas tembok. Tembok yang terbangun dengan satu sisi, namun terpakai oleh dua rumah tangga. Seperti apa gejolak dan batasan itu, ataukah itu sudah menjadi aturan bagi para pembangun di kota ini.
Tembok yang terbangun disetapak itu, tak lebih sebagai pembatas. Siapa yang tak tahan oleh kebisingan tetagga sebelah, maka ia akan kalah. Bukan kalah dalam arti sebenar-benarnya. Tetapi menang untuk mengalah. Itulah yang terjawab dari pria baya setapak.
Tanpa kita sadari, ada banyak hal baru untuk berbuat baik. Memang kehidupan itu terasa berat, tetapi dia akan terasa ringan bila jalan itu tak buntu oleh kebuntuan. Sementara, adakah hal lain disaat kita melangkah saja tanpa menoleh, atau setidaknya berjalan ditempat dan sekadar menyapa seperlunya.
Khalil Gibran berkata, saat-saat inilah aku berpikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan ini. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen bernyanyi yang bergerak dalam diriku.

Perumnas, 22 Juni 2008

SEINDAH APA PERAWAN ITU?


Ketika mereka. Dia, aku dan kamu. Datang dan dianugerahi satu kelahiran dan hidup atas nama dunia ini. Sementara bentuk kehidupan yang kita rasa harus rela, pasrah, takut bahkan sesantainya kita melihat kenyataan itu. Sebuah fenomena dalam mata realitas yang bertentangan nyata dan berada dalam kehidupan. Tentang perawan, dimana kita melihat dan mengusik sebuah pertanyaan untuk perawan.
Perawan. Yah, perawan itu sangat nyaman, bersih, murni. Tetapi keaslian itu, kita pertanyakan, apakah terhitung tersisa atau tak tersisa. Bila sisa keperawanan menyambar kebohongan, apakah kita masih merasa tanggung untuk menghitung harga perawan yang dinilai cinta, uang atau kekerasan. Sebut saja, pemerkosaan, menjual keperawanan mereka, secara ilegal atau dasar dari rasa sama suka. Dengan penaburan cinta lewat perawan, itukah arti kesetiaan.
Saya gelisah tentang keperawanan, dan jauh dari rasa siksa mereka saat ini. Tentang dan mengenai sebuah film berjudul KIDS by Larry Clark. Semacam personal seks dalam mengadu kisah asmara, dengan pendidikan seks yang membuat penderitaan, merasa berani dan dibawah tekanan kesadaran. Memang, atmosfir film ini cukup realitas dan menjadi cermin budaya plus-plus. Sebab plus tersebut, sama ketika hati yang diluluhkan dengan kata-kata dan pengaruh psikologi pada bawah sadarnya.
Secara sadar, tulisan ini tak mengajak kalian untuk menonton film berjudul KIDS. Tapi, merangsang keninaboboan kita terhadap kerasnya pergaulan seks, terutama anak remaja yang sekadar coba-coba atau terpengaruh dalam hal apa saja.
Peran dan tantangan atas perawan cukup menggairahkan mata, telinga dan jari-jari tangan ini. Kenyataan dan pengakuan, mulai beramai-ramai menyelimuti hidup kita dalam ketuaan. Sejak peristiwa terakhir, mereka ayam kampus, PSK, gadis lambaian, anak dibawah umur dan begitu banyak nama hingga detik ini.
Dari kesekian yang tertera, dipakai semalam dengan tarif tertentu. Adapula yang sekadar gratis untuk nama cinta. Bahkan, mereka yang merasa disebut “jablai”. Dengan memperhitungkan masa keperawanan, hingga tahun 2007 telah banyak penyakit yang harus disembuhkan. Semacam HIV/AIDS, gejala kematian yang tak lama bertahan untuk hidup.
Ketika pembuktian penyakit itu menular, seberapa cemas hidup mereka yang menderita. Merasa diri hina dan dijauhi oleh masyarakat. Namun, teknologi saat ini sudah menglobal. Banyak perenungan yang menghantar mereka untuk berobat atau mengkomsumsi obat-obatan sesuai prosedur kedokteraan.
Terlihat ironis, menderita. Dari sekian penyakit yang timbul akibat hubungan seks bebas, itu kerap dijumpai akibat penggunaan kondom yang dianggap sepele. Semacam alat kontrasepsi, yang menjadi bingkai di apotek saja.